Mohon tunggu...
Nur Khasanah
Nur Khasanah Mohon Tunggu... -

Mantan TKW di Abu Dhabi, kini pendidik TK

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Citra Buruk TKI Sebagai Pembunuh

1 November 2011   16:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:11 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

MEMBUNUH atau melakukan pembunuhan menjadi kata kunci yang menyeret sejumlah TKI ke meja hijau. Masyarakat tidak tahu pasti latar belakangnya, mengapa seorang PRT migran nekat membunuh majikannya.Apakah mereka telah kehilangan akal sehat, atau semata-mata karena terpojok oleh keadaan?

Selama beberapa bulan terakhir ini kita sering disuguhi berita seputar vonis (hukuman) mati terhadap TKI dengan tuduhan melakukan pembunuhan. Seperti yang saat ini dialami Satinah binti Djumadi (39), TKW asal Dusun Mrunten Wetan, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, yang terancam hukuman pancung karena dituduh membunuh dan mencuri uang majikannya, Nura Al Gharib di Arab Saudi.

Buruh migran lain yang teracam hukuman pancung adalah Tuti Tursilawati, TKW asal Majalengka, Jawa Barat, yang dituduh membunuh majikannya karena membela diri saat mengalami percobaan pelecehan seksual. Rencananya, Tuti akan dipancung di Arab Saudi usai Hari Raya Idul Adha, awal November 2011.

Kita pun masih ingat kasus yang menggemparkan, yakni eksekusi mati terhadap Ruyati binti Satubi (54), TKI asal Bekasi, yang juga didakwa membunuh majikannya. Juga kasus Darsem binti Dawud Tawar, TKI asal Subang, yang divonis pancung, namun dibebaskan setelah membayar denda lantaran pihak keluarga korban mengampuninya.

Dampak dari tindak kriminal itu merembet kemana-mana. Citra negara dan TKI ikut tercoreng. Peribahasa mengatakan, karena setitik nila rusak susu sebelanga. Hanya sebagian kecil TKI yang melakukan pembunuhan, tetapi ribuah bahwa jutaan TKI di berbagai negara ikut tercemar namanya, seolah-olah mereka merupakan mahluk yang membahayakan.

Membunuh adalah tindakan yang penuh risiko, lebih-lebih dilakukan seorang buruh migran, yang notabene sedang numpang hidup di negeri orang. Pembunuhan yang dilakukan seorang PRT mustahil terjadi tanpa penyebab. Inilah yang sulit diurai. Para TKI/PRT migrant banyak disuguhi fakta tentang sikap-sikap majikan yang suka berbuat semaunya: memerkosa dan menyakiti. Banyak TKI/TKW memilih kabur karena dirasa lebih aman daripada membela diri dengan membunuh.

Berdasarkan data yang yang dikeluarkan pihak KBRI Arab Saudi dan Kuwait, jumlah buruh migran yang melarikan diri ke KBRI untuk mencari perlindungan dari tindak kekerasan dan perkosaan majikan mencapai sekitar 3.627 orang pertahun. Tetapi ironisnya, pemerintah menilai Arab Saudi menjadi kawasan terbaik untuk penempatan TKI di kawasan Timur Tengah. Jumlah TKI di Arab Saudi saat ini mencapai sekitar 1,5 juta orang. Sekitar 90 persen adalah TKI informal sektor penata laksana rumah tangga yang bekerja pada majikan perorangan.

Sampai kapan pun posisi PRT migran sangat riskan kejahatan dan kekerasan. Dalam kondisi normal saja, namanya pembantu, posisinya tetap lemah dan gampang terpojok. Melakukan kesalahan sedikit saja bisa dimarahi habis-habisan, apalagi jika sampai melakukan pembunuhan, risikonya tentu lebih besar lagi. Dari perspektif ini, setiap buruh migran seharusnya bersikap hati-hati dan menyadari posisinya.

Kasus pembunuhan yang kini menimpa segelintir TKI biarlah menjadipekerjaanrumah pihak yang berkompeten. Tentunya semua berharap para terdakwa bisa memperoleh jaminan keadilan. Kita berharap pihak keluarga atau ahli waris majikan bisa memaafkan para terdakwa sehingga mereka bisa terbebas dari hukuman mati. Ini menjadi tantangan tugas tim satgas TKI yang telah ditunjuk pemerintah RI.

Masyarakat hanya bisa memberikan dukungan moral dan doa kepada para buruh migran di manapun berada, agar mereka diberi ketabahan dan keselamatan selama menjalankan tugas, mampu menjaga harmoni dengan majikan dan dijauhkan dari tindak kriminal. Dukungan spiritual tersebut sangat penting melihat kenyataan bahwa sebagaian besar buruh migran bekerja di sektor-sektor yang penuh resiko tetapi terlalu minim proteksi.

Vonis maupun eksekusi mati terhadap TKI merupakan bukti kerentanan posisi buruh migran. Menurut laporan Migran Care, setidaknya ada 345 warga negara Indonesia (WNI) di Malaysia dan 23 WNI di Saudi Arabia terancam hukuman mati. Sebagian besar dari mereka adalah pembantu rumah tangga (PRT) migran. Tidak jelas nasib mereka, apakah kelak benar-benar dihukum mati atau memperoleh pengampunan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun