Mohon tunggu...
Nur Khasan
Nur Khasan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Beras Plastik, Bir, Beras Analog, Miras dan Beras Palsu

22 Mei 2015   14:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:43 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setelah tak lagi bisa menjual minuman beralkohol dan bir pasca diterapkannya regulasi larangan menjual bir di warung-warung kecil, kini pedagang kembali diresahkan dampak peredaran beras plastik di pasaran. Kekuatiran pedagang, --sama halnya dengan kekuatiran berlebihan dampak penjualan bir bagi generasi muda--, jangan-jangan Menteri Perdagangan Rachmad Gobel bakal melarang penjualan beras di warung kecil tetapi hanya boleh dijual di supermarket dengan alasan untuk melindungi masyarakat dari peredaran beras plastik.

Tidak seperti biasanya, Bu Rohaini datang ke warung saya pagi-pagi. Raut muka ibu lima orang anak yang sudah puluhan tahun menjadi pelanggan ini tampak gelisah.

“Pak....Pak berasmu aman kan, bukan beras plastik ? ” katanya.

Setelah ramai razia bir dan minuman beralkohol di toko kelontong, orang di pasar tradisional berisik ngobrolin beras plastik. Minggu-minggu ini, semua koran mengangkat isu beras plastik yang awalnya dilaporkan seorang konsumen, Dewi Septiani.

Bu Dewi melaporkan beras yang diduga dari plastik itu tak dapat dimasak seperti beras pada umumnya. Ia menyebut hasil masakannya cenderung keras, tapi lengket seperti ketan. Ia mengaku membeli beras sebanyak enam liter pada Minggu, 17 Mei 2015. Seliter beras harganya mencapai Rp 8 ribu.

Laporan Ibu Dewi ini mendapatkan akhirnya mendapatkan respon dari beberapa pihak, termasuk Menteri Perdagangan Rachmad Gobel juga angkat suara mengenai masuknya beras plastik. Pihaknya menyatakan bahwa beras plastik ialah illegal market. Hingga kemudian kemarin, Kamis (21/05), polisi menyegel salah satu toko milik Sembiring yang diduga menjual beras berbahan plastik. Sampai saat ini, status Sembiring masih sebagai saksi saja.

Benar atau tidaknya peredaran beras plastik yang menurut salah satu penelitian dari Laboratorium PT Sucofindo, beras plastik mengandung bahan spektrum folifenil klorida, senyawa ini biasa digunakan dalam pembuatan polimer pipa, kabel, lantai dan kebanyakan industri, kita berharap adanya kepastian dari pihak terkait yang mengawasi tata niaga beras. Jangan sampai konsumen, yang sudah dibebani kebutuhan hidup, terkena dampak atas penjualan beras yang tidak sehat.

Kepastian benar atau tidaknya peredaran beras plastik juga dibutuhkan agar tidak muncul keresahan yang kemudian menyebabkan turunnya omset pedagang beras di warung kecil.

Bu Nyoto, pelanggan lainnya, suka bercanda tetapi serius. “Sejak beras harganya naik, saya suka beli beras plastik. Saya sekarang beli beras eceran dan dibungkus dalam tas plastik bukan karung yang terbuat dari goni, “

Seharusnya pemerintah, kata Bu Nyoto, juga harus memikirkan nasib rakyat kecil yang membutuhkan beras berkualitas baik, murah dan sehat. Sehingga dengan beras yang sehat, maka anak-anak muda juga sehat.

Dalam ilmu dagang, konsumen ialah raja. Jikalau “sang raja” gelisah, maka pedagang juga ikut muram. Beberapa agen beras hingga pedagang eceran beras pun “sambat” karena sejak berita itu penjualan turun.

“Banyak pembeli yang memilih pergi ke minimarket dan supermarket karena takut beli beras di warung, “ kata Darman, rekan sebelah toko saya juga penjual beras.

Apalagi sejak munculnya beras plastik, banyak razia dari petugas ke toko kecil. Padahal sebelum menjadi Presiden, Pak Jokowi suka blusukan ke pedagang kecil dan pasar tradisional. Pendekatan yang dibangun pemerintah saat ini seakan kembali ke pendekatan razia dibandingkan model blusukan yang menentramkan keadaan.

Setelah regulasi larangan menjual bir, banyak razia petugas ke toko kecil yang masih menjual bir. Beberapa pedagang lain sudah mengirimkan surat protes akan terbitnya regulasi ini karena dianggap mematikan perekonomian pedagang kecil. Namun Presiden Jokowi tetap memberikan respon atas surat keberatan kami : razia minuman beralkohol di beberapa tempat terus berjalan.

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 yang isinya melarang penjualan bir di seluruh pedagang tradisionaltidak sesuai dengan semangat revolusi mental Pak Jokowi yang melindungi nasib wong cilik. Peraturan yang dibuat leh Menteri Rachmad Gobel lebih berpihak kepada supermarket dan hypermarket yang tetap diperbolehkan menjual bir.

Sejak empat tahun lalu, minuman keras memang menjadi pusat perhatian. Banyak korban jiwa meninggal akibat minuman oplosan. Itu belum termasuk maraknya peredaran alkohol illegal yang beredar di pasaran.  Oplosan dan alkohol illegal ini diperjualkan tanpa adanya pengawasan dari Departemen Kesehatan yang beresiko tinggi bagi kesehatan jika dikonsumsi oleh manusia.

Beban hidup masyarakat yang tinggi menyebabkan mereka memilih oplosan, minuman tradisional dan alkohol illegal untuk dikonsumsi karena harganya jauh lebih murah ketimbang minuman beralkohol dalam pengawasan. Adanya beban hidup kemudian ditambah konsumsi miras tanpa pengawasan secara berlebihan memicu kasus-kasus kriminalitas, seperti perkelahian dan pemerkosaan.

Seharusnya jika untuk kepentingan melindungi generasi muda perlu dibuat aturan khusus orang mabuk karena bisa merugikan kepentingan umum , bukan justru melarang pedagang untuk menjual bir yang justru  telah melanggar HAM dan merampas hak pedagang kecil untuk berusaha dan berpenghidupan yang layak. Apalagi pelarangan menjual bir justru akan memicu perdagangan gelap minuman beralkohol, seperti oplosan.

Juga tidak pernah dijumpai konsumsi bir sebagai pilihan seseorang untuk mabuk. Minum bir bukanlah menjadi pilihan utama jika seseorang, baik itu yang muda juga orang dewasa untuk mabuk. Bir seperti jamu pelancar kencing.

Bir sendiri memiliki kandungan air 93 persen dan mengandung kadar alkohol lebih rendah dibandingkan ketan tape, yang juga banyak dikonsumsi dan dijual bebas.

Sebelum beras plastik, sejak tahun 2012, IPB mengenalkan beras analog yang terbuat dari singkong. Semoga saja tidak sampai kemudian muncul istilah beras palsu (untuk menyebut beras analog) yang berdasarkan riset lebih menyehatkan dibandingkan beras pada umumnya. Halnya dengan bir, yang terabaikan kebaikannya bagi kesehatan, karena “diciptakan” oleh kelompok tertentu seolah-olah sama dengan miras yang pantas dimusuhi karena efeknya bagi kesehatan.

Semoga saja tidak lantas muncul kegaduhan aturan : beras hanya boleh dijual di supermarket !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun