Mayoritas penduduk Indonesia mengkonsumsi nasi setiap hari. Dari pulau Sumatera sampai Papua mengandalkan beras sebagai makanan pokoknya. Ratusan juta orang yang menetap di negeri ini membutuhkan beras, yang tentunya jumlahnya tidak kalah banyak dengan jumlah konsumennya. Lantas apakah ketersediaan beras dari petani lokal bisa mencukupi kebutuhan tersebut?
Kita semua tahu bahwa banyak lahan pertanian yang sudah dialih fungsikan untuk pembangunan pabrik-pabrik, ruko-ruko, pemukiman penduduk, dan bangunan-bangunan lainnya. Selama periode 2007-2010, data Kementrian mencatat penurunan lahan pertanian mencapai angka 600 ribu hektare. Jika laju konversi lahan seperti ini, ketersediaan lahan pertanian sekitar 3,5 juta hektare (2010) akan habis sebelum 2030.
Berkurangnya lahan pertanian semakin melemahkan ketahanan pangan di Indonesia. Pasalnya, hal ini akan mempengaruhi kuantitas hasil panen nasional. Sehingga ketersediaan komoditas beras semakin sedikit dan kurang mencukupi kebutuhan beras nusantara. Atas dasar tersebut yang menjadikan impor beras tidak bisa dihentikan, malah setiap tahun jumlah impor beras terus bertambah.
Jika Indonesia hanya mengandalkan beras saja sebagai makanan pokoknya, lantas sampai kapan negeri ini akan mengimpor beras dari negara lain? Bukankah negeri kita sangat kaya? Berdasarkan data yang dimiliki oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian yang menyatakan, potensi sumber pangan yang dimiliki Indonesia cukup banyak, yaitu 77 jenis sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayur-sayuran, dan 110 jenis rempah.
Rendahnya popularitas sumber kabohidrat lain menjadi kendala untuk mengurangi konsumsi beras di Indonesia. Padahal, jika jagung, umbi-umbian, sagu, gandum dan lainnya bisa menandingi popularitas beras, maka akan berpotensi mengurangi konsumsi beras dalam skala besar. Tidak menutup kemungkinan akan menurunkan bahkan menghentikan impor beras dari luar negeri.
Secara psikologis, masyarakat kita cenderung lebih merasa “bangga” ketika makan nasi dibandingkan makan jagung. Mereka menjadikan statment “orang belum dianggap makan ketika belum makan nasi”. Jadi seolah-olah dalam masyarakat ada sebuah sistem yang secara tidak sadar mempengaruhi pola pikir mereka. Saat mereka mengkonsumsi roti di siang hari, atau jajanan lain mereka belum menganggapnya sebagai makan siang. Tapi ketika mereka memakan nasi maka mereka sudah dinilai sebagai makan siang.
Mengubah mindset masyarakat tentang bahan kabohidrat lain memang tidak mudah. Karena penilaian mereka tentang “nasi” itu sangat kuat, maka bukan tidak mungkin bila mereka sulit menerima pemikiran baru tentang pengalihan dari beras ke bahan pokok lainnya yang secara gizi setara dengan nasi. Media sangat berperan penting dalam andil mengubah mindset tersebut. Komoditas lain seperti jagung, umbi-umbian, gandum, sagu, dan sebagainnya bisa menjadi tren di masa yang akan datang.
Apakah mempopulerkan sumber kabohidrat lain melalui sosial media adalah jalan satu-satunya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H