Mohon tunggu...
Nur Khakiki
Nur Khakiki Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Psikologi Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang | Berusaha kritis dikondisi krisis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kita Berdialektika Melalui Tatapan

20 November 2015   08:21 Diperbarui: 20 November 2015   08:57 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada beberapa larik puisi di kedua bola mataku, terawanglah hingga hatimu hinggap pada salah satu metaforanya. Berulangkali aku mencarimu dalam keriuhan kata, hanya kehampaan yang aku temukan. Kamu enggan hadir dalam celah-celah sepiku yang terlalu menyedihkan. Sejenak sikap dinginmu membuatku berpikir bahwa diriku tak pernah bermakna apa-apa. Tapi matamu sayang, tidak bisa mendustai bahwa sebenarnya akulah yang sedang kau pandangi diam-diam.

Pagi ini aku terbangun dalam keadaan cemas; kamu memilih diam untuk segala tentang kisah kita. Sms-sms menyenangkan darimu tak lagi ada, kebahagiaan yang pernah kau bangun kini runtuh pelan-pelan. Setiap hari aku menemukanmu dalam kebingungan, kamu yang terlalu takut untuk memperjuangkan “kita” walau hanya sebentar.

Kita berdialektika melalui tatapan, saat logikaku menentang perasaan bahwa semua yang aku lakukan padamu tidak akan pernah terbalaskan. Tapi aku sama sekali tak peduli akan itu, tawamu selalu menjadi bagian paling menakjubkan di hari-hariku. Kamu selalu menanyakan hal yang sama mengapa aku sedalam ini mencintaimu, mengapa? Aku juga tak paham. Matamu begitu ajaib sampai aku lupa bahwa setiap hari kamu menghujaniku dengan rasa sakit.

***

10 November yang lalu, saat hujan mengguyur Semarang, saat dunia menjadi milik kita. Kuamati elok wajahmu dari kaca spion, tawamu yang lebih lepas dari biasanya. Kenapa kamu memperlakukanku seburuk ini? Tentang pertanyaan-pertanyaanku yang kamu acuhkan, tentang keadaanku yang kau abaikan, dan tentang perhatianku yang tidak pernah kau pedulikan. Kamu selalu menatapku dengan pandangan yang kuyakini itu “cinta”. Tapi kenapa sikap yang terlahir dari perasaan cinta justru terkesan menyakitkan?

Esok, jika ada pria lain yang lebih berani memperjuangkanku tanpa kata “lelah” apa kau rela melepasku kepelukannya? Aku mencintaimu, sahabatku. Seperti yang aku ceritakan setiap saat padamu, aku merindukanmu setengah mati tapi apa jawabmu? Bahkan kamu hanya tertawa dan mengalihkan pembicaraan atau seringkali juga kamu pura-pura tidak mendengarku.

Kurasa semuanya sudah cukup...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun