Mohon tunggu...
Nurkaib Nurkaib
Nurkaib Nurkaib Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Orang biasa yang ingin tetap jadi orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Monorel Jakarta: Selesaikan atau Batalkan Saja!

25 Mei 2014   13:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:08 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="580" caption="Dua Rute Monorel Jakarta"][/caption] JAKARTA, KOMPASIANA.com—Proyek pembangunan transportasi massal monorel sesungguhnya sudah dimulai pada tahun 2004, di era Gubernur Sutiyoso. Namun, proyek ini kemudian terkatung-katung dan sempat hendak dibatalkan pada akhir masa jabatan Gubernur Fauzi Bowo. Hingga kini, belum ada pembangunan apa-apa, kecuali hanya tiang pancang yang sempat diperselisihkan itu. Proyek ini harus segera dimulai dan diselesaikan secepatnya karena semakin lama diselesaikan, semakin sulit terwujud dan semakin besar pula biayanya. Pada awalnya proyek ini diperkirakan membutuhkan Rp3 triliun, tetapi sekarang membengkak menjadi Rp12 triliun.

Demikian salah satu poin yang mengemuka dalam acara Kompasiana Nangkring bareng PT Jakarta Monorail, Sabtu (24/5/2014) siang, di Outback Steakhouse, Kuningan City, Jakarta. Kegiatan yang mengambil tema “Jakarta Monorail: Persoalan Infrastruktur atau Politik?” ini diikuti oleh sekira 70 kompasianer dari seluruh Indonesia. Tampil sebagai narasumber adalah Direktur Utama PT Jakarta Monorail (JM), Jhon Aryananda; konsultan bidang infrastruktur Bappenas, Lukas Hutagalung; pengamat transportasi, Dharmaningtyas; dan pakar komunikasi politik, Tjipta Lesmana. Sebagai moderatornya adalah Laksono Hari Wiwoho, Editor Megapolitan Kompas.com.

[caption id="attachment_325491" align="aligncenter" width="600" caption="Acara Kompasiana Nangkring bareng PT Jakarta Monorail Sabtu (24/5/2014) di Jakarta. Dari kiri ke kanan: Penyiar FM Motion Radio, Jhon Aryananda, Tjipta Lesmana, Dharmaningtyas, Lukas Hutagalung, dan Laksono Hari Wiwoho."]

14009736411677642153
14009736411677642153
[/caption]

“Makin lama monorel Jakarta diselesaikan, makin sulit proyek ini terwujud dan makin mahal biayanya,” tutur pakar komunikasi politik Tjipta Lesmana. Menurutnya, jika Pemerintah DKI Jakarta memang menilai perlu adanya monorel, perjanjian kerja sama pemerintah dengan swasta (KPS) harus segera diselesaikan agar pihak swasta—dalam hal ini adalah PT JM—bisa segera membangun.

Terkait lambannya penyelesaian perjanjian KPS tersebut, Lukas Hutagalung menyatakan, “Pemerintah terlalu lama menjomblo, apa-apa dikerjakan sendiri. Jadi, ketika mau kawin (bekerja sama dengan swasta—red.), mereka pada bingung.” Menurutnya, Pemerintah sebaiknya tidak perlu terlalu khawatir berlebihan karena KPS pun nantinya bisa dinegosiasikan lagi jika ada perkembangan kebijakan pada masa mendatang.

Jhon Aryananda mensinyalir persoalan ini sudah dipolitisasi. Hal ini tampak dari pernyataan-pernyataan keras Wakil Gubernur Basuki Cahaya Purnama terhadap PT Jakarta Monorail. Wacana PT Adhi Karya akan menggantikan PT Jakarta Monorail memperkuat sinyalemen Jhon. Hal ini diamini oleh Tjipta Lesmana. “Begitu Ahok menjadi pelaksana tugas Gubernur (DKI Jakarta), PT JM siap-siaplah ditendang,” kelakar Tjipta. Namun ia tidak sepakat jika PT Adhi Karya menggantikan PT JM karena khawatir proyek ini bernasib seperti proyek Hambalang, yang dililit persoalan korupsi. Ia lebih memilih PT JM yang meneruskan proyek monorel ini.

Menurut keterangan Jhon, PT JM memang sempat menerima notifikasi terminasi kontrak pada akhir masa jabatan Gubernur Fauzi Bowo. Namun terminasi itu urung dilakukan karena ternyata bukan hanya PT JM yang telah melakukan wanprestasi, melainkan juga Pemerintah DKI. “Jika KPS dibatalkan, Pemda DKI harus membayar Rp130 miliar kepada PT Adhi Karya dan Rp70 miliar kepada PT JM,” kata Jhon.

Lukas membenarkan keterangan Jhon. “Terminasi PT JM lebih banyak ruginya.” Karena itulah, Pemerintah Provinsi DKI urung memutus kontrak dengan PT JM. Menurutnya, uang Rp200 miliar lebih baik digunakan untuk membangun hal lain yang tidak menarik minat investor daripada diberikan kepada PT Adhi Karya dan PT JM sebagai kompensasi pemutusan kontrak.

Pandangan berbeda dikemukakan oleh pengamat transportasi Dharmaningtyas. Menurutnya, persoalan monorel Jakarta pada awalnya tidak ada unsur politisnya. Baru pada tahun belakangan ini saja cenderung politis. Ia menilaiproyek monorel ini sejak awal sudah tidak visibel, tetapi dipaksakan tetap berjalan. Terbukti, “pada tahun 2011, setelah ada kajian dari konsorsium yang akan mendanai, proyek ini dianggap tidak visibel.”

[caption id="attachment_325492" align="aligncenter" width="600" caption="Kang Pepih Nugraha memberikan sambutan pada acara Kompasiana Nangkring bareng PT Jakarta Monorail, Sabtu (24/5/2014)"]

14009740502074560923
14009740502074560923
[/caption]

Efektivitas Monorel

Dharmaningtyas juga menilai proyek monorel tidak efektif untuk mengurangi kemacetan. Sebab, rute monorel berputar-putar di pusat kota, dari tujuan perjalanan yang satu ke tujuan perjalanan yang lain. “Jalur (monorel) sekarang ini adalah jalur makan siang. Jadi, tidak efektif,” jelasnya. Ia menambahkan, “Transportasi akan efektif jika menghubungkan (kawasan) asal-perjalanan ke tujuan-perjalanan. Misalnya dari Bogor ke Kuningan.”

Hal ini dibantah oleh Jhon. “Transportasi massal apa pun tidak ada yang efektif jika dilihat sepotong-sepotong,“ tegasnya. Menurutnya,diperlukan integrasi dari satu moda transportasi dengan berbagai moda yang lain agar keberadaan setiap moda transportasi menjadi efektif. Ia optimis monorel akan efektif karena mempunyai delapan titik singgung dengan moda yang lain, yaitu 2 dengan kereta komuter (KRL), 2 dengan MRT (mass rapid transit), dan 4 dengan bus Transjakarta.

Dalam situs resmi PT JM dijelaskan, proyek monorel ini rencananya akan melayani dua rute di tengah kota. Rute pertama disebut jalur hijau, yaitu dari dari Kuningan-Gatot Subroto-Komdak-GBK-Palmerah-Sudirman-Kuningan. Sementara, rute kedua yang dinamakan jalur biru melayani perjalanan dari Kampung Melayu-Menteng Dalam-Jalan Prof Satrio-Sudirman WTC-Tanah Abang-Tomang-Taman Anggrek.

Dibanding dengan MRT, jelas Jhon, monorel mempunyai kelebihan. “Monorel lebih fleksibel dan tidak berisik. Meski tidak lebih efisien (tetapi setara—red.), monorel solusi yang paling tepat untuk kondisi Jakarta sekarang ini.”

Senada dengan Jhon, Tjipta Lesmana menilai monorel bisa mengurangi kemacetan di Jakarta. Namun, ia tidak yakin bisa menghilangkan kemacetan. Ia menyatakan, “Kehadiran berbagai moda transportasi hanya bisa mengurangi kemacetan, bukan menyelesaikan, sepanjang mobil dan motor dibiarkan terus membanjiri Jakarta.” Ia berharap Pemerintah Pusat bisa menahan laju pertumbuhan kendaraan bermotor.[]

[caption id="attachment_325493" align="aligncenter" width="600" caption="Sebagian kompasianer tidak mendapatkan tempat duduk dan berbaur dengan para jurnalis"]

1400974279838246969
1400974279838246969
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun