Semilir angin November masih menyelimuti pantai Cilincing. Para nelayan baru saja selesai menjual tangkapan pada mandor-mandor berkantong tebal di TPI (Tempat Pelelangan Ikan).Â
Mat Sahil tertawa puas, semalam dia kejatuhan bintang. Satu kwintal ikan berhasil masuk dalam jaringnya di bawah bagang(*). Terjual lima jutaan rupiah. Orang bilang "along",
Sedang saingannya --Jaja-- tampak rungsing. Dari tadi ia tak mampu mengangkat kepala. Semalam tertidur, tidak dapat ikan seekor pun. Kalau sudah begini, rugi. Biaya sewa perahu, beli solar mesin, sekaligus bekal nasi dan rokok. Terbayang istrinya pasti marah sesampai di pintu rumah.
Ketimbang bingung, dihampirinya warung kopi langganannya.
"Marni, kopi!" teriaknya pada janda manis yang tengah sibuk menghidangkan kopi di warung.
Kebetulan, pikir Mat Sahil jail.Â
"Dapet berapa lu, San!" teriak Mat Sahil tiba-tiba sambil duduk mengangkat sebelah kaki, ke Mat Asan.
Yang ditanya nyengir-nyengir kuda.
"Lumayanan. Lima ton!" balasnya.
"O. Sukur dah kalo gitu." Si Jail ngelirik Jaja yang menyeruput kopi dengan tangan gemetar.
"Pan gua kagak bingung lagi kalo bini elu ke rumah pinjem beras ame bini gua," sahut Mat Sahil sembarangan bikin kuping Jaja panas.