Aku kehilangan akal. Tak ada jalan keluar buatku. Kedua sosok di sampingku sangat kuat mencengkeram. Meski aku meronta-ronta tak ada pengaruhnya sama sekali buat mereka. Tuhan terus berjalan memimpin di depan.
Tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara suamiku dari kejauhan.
"Sol! Sol! Sol! Sol sepatu!"
Itu suamiku tengah memikul kayu dengan dua kotak kecil di depan dan belakang. Tempat menaruh alat alat mengesolnya.
Ia mengusap keringat yang mencucur di dahinya. Kakinya beralas sandal yang lebih sepuluh kali dijahitnya sendiri karena tak sanggup membeli yang baru.
Tiba-tiba aku ingat semua perkataan kasarku kepadanya. Semua perlakuan kasarku buatnya. Yang semua itu tak pernah ditanggapinya. Dia menghibur diri dengan berzikir di musala samping rumah hingga menjelang malam.
Setiap hari ia juga melafaz zikir pagi dan petang. Yang selama ini sering kujadikan bahan memarahinya, karena kuanggap lebih senang duduk memutar tasbih ketimbang mencari uang lebih banyak lagi.
Suamiku menghadang kami. Segera kuutarakan kalimatku penuh ketakutan.
"Suamiku tolong aku, aku akan diajak Tuhan pergi, aku takut."
Suamiku tak berkata apa-apa. Tapi kulihat ia tersenyum. Perasaan bersalah dan berdosa tak bisa lagi kuungkapkan.
Aku menangis terguguk, terus menerus. Dan aku menatapnya dengan putus asa. Karena ia masih saja diam dan tak membelaku sama sekali. Hanya tersenyum saja. Membuat rasa bersalahku semakin menjadi-jadi.