"Umroh saja dulu, Mbah," kata Kirno. Panggilannya membiasakan Denis menyebut Mbah. "Murah. Cuma delapan belas juta. Nggak pake daftar segala lagi Mbah," lanjutnya.
"Oh ya?" Mbah Rukmo semangat.
"Iya. Delapan Belas juta langsung berangkat."
"Delapan belas juta?"
"Iya Mbah."
Mbah Rukmo membayangkan dari mana dapat uang delapan belas juta. Aku punya rumah yang sekarang aku tempati. Tapi kalau ini dijual, di mana Yuni dan keluarganya tinggal? Mana mungkin mereka bisa membayar kontrakan bulanan yang mahal-mahal. Lagian ntar aku juga tinggal di mana? Bisa umroh tapi tinggal di kolong jembatan. Walah!
Mbah Rukmo menghayalkan keempat anaknya urunan. Delapan belas juta kalau aku bagi berempat sekitar lima jutaan. Ah, apa mereka bisa dan mau urunan? Tak apalah, akan aku coba minta. Sekaligus aku ingin melihat anak yang mana yang paling peduli padaku.
Sesudah sholat isya dan mengaji, malam itu Mbah Rukmo memanggil Yuni dan Kirno.
"Yun, Bapak pingin sekali umroh,...." Mbah Rukmo menggantung kalimatnya. Melihat reaksi kedua anak mantunya.
"Kata suamimu, biayanya delapan belas juta." Kirno manggut-manggut separuh ngantuk. Kayaknya sudah capek tadi siang manggul barang di pasar banyak sekali.
"Anak Bapak ada empat. Bapak minta tiap anak nyumbang lima juta," lanjut Mbah Rukmo.