Masalah: pengesahan APBD di tingkat daerah selalu terlambat.
Kajian: interaksi pemerintah daerah dan DPRD dalam penyusunan kebijakan APBD.
Proses penyusunan kebijakan terdiri atas berbagai tahapan: formulasi kebijakan (policy formulation), implementasi kebijakan (policy implementation), evaluasi kebijakan (policy evaluation), dan analisis kebijakan (policy analysis).
Pemerintah daerah dan DPRD memiliki hubungan sebagai berikut.
Dalam konteks legislasi, saat membuat peraturan daerah (perda).
Dalam konteks anggaran, pemda membuat dan menetapkan APBD yang telah disetujui DPRD.
Dalam konteks pengawasan, DPRD melakukan pengawasan kepada pemda sebagai bentuk check and balances sistem demokrasi.
Penyusunan APBD sebagai salah satu kebijakan publik harus mencerminkan aspirasi masyarakat dan stakeholder daerah. Namun, pada kenyataannya, banyak stakeholder yang kurang puas dengan kebijakan APBD yang telah ditetapkan. Hal ini menunjukkan terdapat pola relasi dan interaksi yang kurang seimbang antara aktor-aktor kebijakan publik daerah.
Perspekstif Teoretis dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik
Kebijakan publik berkembang dan menjadi bagian dari administrasi negara. Karakteristik kebijakan publik yaitu tindakan yang berorientasi pada tujuan, berisikan tindakan atau pola tindakan pejabat pemerintah, hal yang beran-benar dilakukan oleh pemerintah, bersifat positif yang dilakukan pemerintah terhadap suatu masalah, dan berlandaskan pada peraturan perundang-undangan. Hakikat kebijakan publik sebagai tindakan yang berorientasi pada tujuan dapat dipahami dengan merincinya pada limak kategori, yaitu tuntutan kebijakan (policy demand), keputusan kebijakan (policy decision), pernyataan kebijakan (policy statement), keluaran kebijakan (policy outputs), dan hasil akhir kebijakan (policy outcomes). Kebijakan publik dapat dibuat dalam berbagai bentuk, yakni regulatory (mengatur perilaku orang), redistributive (mendistribusikan kembali kekayaan), distributive (mendistribusi sumber daya dengan adil), dan constituent (melindungi negara).
Proses Penyusunan Kebijakan Publik
Proses penyusunan kebijakan publik meliputi tiga fase penting yang memungkinkan terjadinya konflik kepentingan di antara para aktor yang terlibat: fase perumusan masalah (input), fase penyusunan agenda (proses), dan fase pengajuan kebijakan (output).
Fase Perumusan Masalah (Input)
Masalah yang sering mendapat perhatian saksama adalah mengenai kepentingan umum (public interest). Masalah tersebut biasanya disuarakan oleh kelompok kepentingan terkait. Kemudian, maslah tersbut akan dibicarakan dengan pihak yang memiliki kepentingan serupa sehingga menjadi masalah bersama atau public problem yang kemudian dapat berkembang menjadi public issue. Masalah ini menuntut adanya penyelesaian melalui intervensi kebijakan. Proses dimulai ketika terjadi perbedaan pendapat di antara para aktor kebijakan publik mengenai ruang lingkup dan dampak permasalahan.
Fase Penyusunan Agenda (Proses)
Agenda kebijakan merupakan sebuah daftar permasalahan atau isu yang mendapat perhatian serius karena berbagai alasan sehingga diproses menjadi kebijakan. Proses masuknya isu ke dalam agenda kebijakan lebih cenderung bersifat politis daripada rasional. Ada empat faktor yang berpengaruh pada proses penyusunan agenda kebijakan, yaitu 1) perkembangan sistem pemerintahan yang demokratis, 2) sikap pemerintah dalam proses penyusunan agenda kebijakan, 3) partisipasi masyarakat, dan 4) realitas pemerintahan daerah.
Pendekatan pluralis dalam proses penyusunan agenda adalah sesuatu yang ingin memasukkan preferensi publik atau seluruh stakeholders kebijakan yang relevan dalam proses penentuan masalah kebijakan publik. Dalam konteks formulasi kebijakan di mana para kelompok kepentingan berusaha untuk memenuhi tuntutan mereka melalui lobi, ada beberapa teknik lobi, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pengaruh langsung dapat terdiri dari
Mempresentasikan pendapat atau fakta secara langsung kepada para perumus kebijakan,
berpartisipasi dalam bill drafting, dan
pengujian pendengaran.
Sedangkan secara tidak langsung pengaruh tersebut dapat berupa hal-hal sebagai berikut.
Tindakan konstituen, yang berarti bahwa warga melakukan hubungan dan komunikasi tertentu dalam rangka untuk melakukan proses pemilihan dan pengangkatan pejabat tertentu.
Anggota kelompok kepentingan untuk memperbesar dampaknya terhadap kelompok "grass-root"Â melakukan Iobi dengan sejumlah besar anggota yang terlibat di dalamnya. Sementara proses itu berjalan, secara simultan mereka menciptakan organisasi penengah yang dapat membuat ruang tertentu bagi mereka dengan menyu sun sejumlah besar isu dari kepada kelompok Iain yang berbeda.
Teknik-teknik pengawasan situasi tertentu yaitu dengan mendramatisir berbagai isu yang ada, untuk menunjukkan interpretasi kondisi sesungguhnya.
Mengkampanyekan berbagai isu publik melalui periklanan.
Protes. Bentuk ini adalah suatu bentuk ekspresi kolektif, dibangun untuk mengembangkannya baik melalui akses terhadap para perumus kebijakan maupun melalui proses tawar menawar dalam konteks negosiasi kebijakan.
Aktor Kebijakan Publik
Aktor kebijakan publik selalu terkait dengan pelaku dan penentu terhadap suatu kebijakan yang berinteraksi dalam setiap tahapan proses kebijakan publik. Merekal yang menentukan pola dan distribusi kebijakan yang akan dilakukan oleh birokrasi yang di dalam proses interaksi dan interrelasinya cenderung bersifat konfliktif dibandingkan dengan sifatnya yang harmoni dalam proses itu sendiri.
Tipe pengambilan kebijakan dikaitkan dengan proses pembahasannya dalam agenda kebijakan publik dapat dibedakan dalam tiga bentuknya, yaitu pola kerjasama (bargaining), persuasif (persuasion), dan pengarahan (commanding). Proses bargaining dapat terjadi dalam tiga bentuknya yaitu negosiasi (negotiation), saling memberi dan menerima (take and give) dan kompromi (compromise). Proses bargaining terjadi ketika terdapat dua atau lebih aktor atau kelompok aktor yang masing-masing memiliki kewenangan dan posisi tertentu tetapi dapat melakukan penyesuaian (sharing) yang diharapkan dapat terbangun dalam sistem pembahasannya. Model persuasif (persuasion) merujuk pada istilah adanya polarisasi kelompok aktor untuk meyakinkan (convince) kelompok aktor kebijakan publik lain. Akumulasi proses keyakinan kelompok aktor tersebut dapat mengubah keyakinan dan nilai serta usulan yang ditawarkan oleh kelompok yang lain. Pola ini banyak terjadi pada tipe kebijakan yang relatif membutuhkan waktu yang lama untuk mengubah keyakinan aktor yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Pola ini relatif dapat ditemukan dalam berbagai bentuk penyusunan kebijakan, misalnya pada perumusan kebijakan APBD di mana antara aktor saling meyakinkan agar pertimbangan dan nilainya dapat diterima oleh kelompok aktor yang lainnya. Sementara itu proses pengambilan kebijakan publik dengan menempatkan adanya pola hierarki yang berlaku antara aktor satu dengan aktor yang lain disebut sebagai pengarahan (commanding). Pola hubungan dan interaksi antara aktor pada model ini berkaitan dengan pola perumusan kebijakan yang sangat struktural, di mana satu kelompok aktor menjadi atasan dan kelompok yang lain tentu saja menjadi bawahan.Â
Interaksi Antaraktor Kebijakan Publik
Sejalan dengan perubahan pola pelaksanaan pemerintahan ke arah desentralisasi, maka juga terdapat tuntutan perubahan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah harus dilandasi oleh prinsip- prinsip demokrasi dan good governance.Â
Good governance adalah suatu bentuk sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pihak sweasta dengan melakukan pemberdayaan masyarakat, pengembangan institusi yang sehat, menunjang sistem produksi yang efisien, dan mendorong adanya perubahan yang terencana. Berdasarkan prinsip-prinsip good governance dan demokrasi lokal, APBD tidak hanya merupakan domain dari pemerintah daerah dan DPRD, tetapi juga merupakan kepentingan masyarakat sebagai stakeholders utama yang diwakili oleh kedua institusi tersebut. Oleh karena itu, dalam penyusunan APBD sebagai kebijakan publik dalam kerangka kepemerintahan yang baik, harus dilandasi prinsip demokrasi, transparansi, akuntabel serta memenuhi aspek keadilan bagi masyarakat daerah.Â
Interaksi yang terjadi antara pemda dan DPRD umumnya berbentuk kerja sama (cooperation)Â dan bahkan pertikaian atau pertentangan (competition). Penggolongan proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial yaitu sebagai berikut.
Proses interaksi assosiatif terbagi dalam bentuk-bentuk sebagai berikut.
Kerja sama (cooperation)
Akomodasi (accomodation), yang terbagi dalam coercion, compromise, arbitration, mediation, concilitation, toleration, stalemate, adjudication
Asimilasi (assimilation).
Sedangkan proses interaksi disosiatif terbagi dalam bentuk-bentuk sebagai berikut.
Persaingan (competition)
Kontravensi (contravention)
Pertentangan, pertikaian (conflict).
Analisis Interaksi Antaraktor Kebijakan Publik pada Penyusunan Kebijakan APBD Kota Makassar
Interaksi antara Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam penyusunan kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Kota Makassar menunjukkan tiga pola utama, yaitu dominasi, kompromi, dan negosiasi. Proses ini dimulai dari tahap perumusan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA), dilanjutkan dengan pembahasan Rancangan APBD (RAPBD), hingga pengesahan anggaran.
Dalam tahapan pembahasan di panitia atau komisi yang berkaitan dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), DPRD sering menunjukkan dominasi karena memiliki kewenangan sebagai lembaga pengawas anggaran eksekutif. Namun, pada tahap perumusan KUA dan PPA, pemerintah daerah cenderung lebih dominan karena memiliki legitimasi kuat dalam penyusunan anggaran. Interaksi yang bersifat kompromistik lebih sering terjadi di tahap akhir pembahasan anggaran di setiap SKPD.
Dari sudut pandang perilaku aktor, baik eksekutif (Pemerintah Daerah) maupun legislatif (DPRD), masing-masing pihak menunjukkan kecenderungan yang sesuai dengan peran dan kewenangan mereka. Pemerintah Daerah sering bersikap koersif dalam tahap awal penyusunan KUA dan PPA, mengingat setiap SKPD memiliki otoritas di bidangnya. Namun, sikap ofensif dari kedua pihak mulai muncul saat proses negosiasi dan dialog tentang RAPBD dimulai. DPRD, dalam hal ini, menggunakan kekuatan kewenangannya yang telah diatur dalam peraturan hubungan daerah untuk memperkuat posisi tawar dalam proses anggaran, terutama di komisi-komisi yang membahas RAPBD.
Pada akhirnya, interaksi antara DPRD dan Pemerintah Daerah dalam penyusunan RAPBD perlu memperhatikan peran dan kewenangan masing-masing secara bijak, agar tercipta keseimbangan (check and balances) yang lebih proporsional. DPRD diharapkan melakukan koreksi terhadap usulan anggaran dengan tetap menjaga objektivitas. Untuk mencapai hal ini, disarankan adanya peningkatan kapasitas kelembagaan (capacity building) di kedua pihak. Langkah ini bertujuan agar Pemerintah Daerah dapat menyampaikan rencana anggaran secara leluasa, sementara DPRD melakukan pengawasan yang konstruktif, sehingga sistem anggaran tetap sesuai aturan dan tidak ada penyalahgunaan wewenang.
ReferensiÂ
Madani, M (2011). Dimensi interaksi aktor dalam proses perumusan kebijakan publik., osf.io,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H