Dari sudut pandang perilaku aktor, baik eksekutif (Pemerintah Daerah) maupun legislatif (DPRD), masing-masing pihak menunjukkan kecenderungan yang sesuai dengan peran dan kewenangan mereka. Pemerintah Daerah sering bersikap koersif dalam tahap awal penyusunan KUA dan PPA, mengingat setiap SKPD memiliki otoritas di bidangnya. Namun, sikap ofensif dari kedua pihak mulai muncul saat proses negosiasi dan dialog tentang RAPBD dimulai. DPRD, dalam hal ini, menggunakan kekuatan kewenangannya yang telah diatur dalam peraturan hubungan daerah untuk memperkuat posisi tawar dalam proses anggaran, terutama di komisi-komisi yang membahas RAPBD.
Pada akhirnya, interaksi antara DPRD dan Pemerintah Daerah dalam penyusunan RAPBD perlu memperhatikan peran dan kewenangan masing-masing secara bijak, agar tercipta keseimbangan (check and balances) yang lebih proporsional. DPRD diharapkan melakukan koreksi terhadap usulan anggaran dengan tetap menjaga objektivitas. Untuk mencapai hal ini, disarankan adanya peningkatan kapasitas kelembagaan (capacity building) di kedua pihak. Langkah ini bertujuan agar Pemerintah Daerah dapat menyampaikan rencana anggaran secara leluasa, sementara DPRD melakukan pengawasan yang konstruktif, sehingga sistem anggaran tetap sesuai aturan dan tidak ada penyalahgunaan wewenang.
ReferensiÂ
Madani, M (2011). Dimensi interaksi aktor dalam proses perumusan kebijakan publik., osf.io,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H