Anak adalah asset berharga yang harus kita didik dengan benar, dijaga dan dilindungi serta diberi kebebasan dalam berfikir agar keluasan imaginasinya terus berkembang demi kemajuan bangsa dan Negara. Namun, kekerasan pada anak tidak pernah selesai. Berita tentang kekerasan pada anak baik itu kekerasan seksual maupun fisik terus bermunculan dari berbagai belahan negeri tercinta kita.
Dilansir dari berita megapolitan.kompos.com, di Klender lelaki paruh baya memaksa bocah berumur 10 tahun untuk melakukan oral seks. Si pelaku merupakan tetangga dekat korban yang yang berjarak tiga rumah dari rumah korban. Di Ambol lain lagi ceritanya, pelaku mencabuli bocah, hingga bocah tersebut tertular virus HIV/AIDS dan yang lebih miris lagi, pelaku adalah Ayah kandung dari korban sendiri (sumber: regional.kompas.com). Selain kekerasan seksual anak juga kerap menjadi korban fisik dari orang yang lebih dewasa. Dilansir juga dari regional.kompas.com seorang Ayah tega menganiaya putrinya yang duduk di kelas III SMPN akibat sang anak mempunyai hutang di kantin karena sang putri mentraktir teman-temannya.
Diluar nalar memang, seorang anak kecil dibawah umur yang masih lucu dan menggemaskan harus menjadi korban manusia yang bengis. Mungkin memang si pelaku akan tertangkap dan dimasukkan ke penjara namun bagi si korban? Saya yang sudah menginjak umur dewasa saja tidak bisa membayangkan beban berat seperti apa yang akan ditanggung korban, bagaimana akan menjalani hari-harinya dengan selalu dihantui perasaan takut dan trauma.
Kekerasan pada anak tidak hanya terkait contoh-contoh diatas, juga sering menjadi lupu dari perhatian kita merampas hak yang seharusnya anak dapatkan merupakan kekerasan pada anak. Penganiayaan emosional/psikologis dan pengabaian serta penelantaran juga bentuk dari kekerasan terhadap anak. Kekerasan psikologis contohnya, memanggil anak dengan nama ejekan, berkata kasar kepada anak, menuntut anak melebihi kapasitas yang ia miliki dan lain sebagainya.
Sakit fisik mudah disembuhkan dan sudah ada obat yang jelas untuk menanganinya serta tingkat kesakitan dan kesehatannya bisa terdeteksi dengan alat-alat canggih kedokteran dijaman sekarang ini. Namun bagaimana dengan sakit psikisnya? Bukan persoalan mudah dan tentunya butuh waktu yang lama. Adek-adek kita (korban kekerasan) akan mengalami trauma yang dahsyat. ini juga akan berpengaruh pada kesehatan mental, kepribandian dan kehidupan sosialnya. Ini harus segera ditangani dan dicarikan jalan keluar yang tepat. Karena tidak menutup kemungkinan para korban kekerasan akan menjadi bibit baru yang dikemudian hari menjadi pelaku dari kekerasan-kekerasan yang lain.
Ayo, kita bersama-sama melindungi dan menjaga generasi penerus bangsa. Ditangan mereka masa depan agama, bangsa dan Negara dititipkan. Lakukan dari hal yang paling sederhana seperti memberikan mereka perhatian, melowongkan waktu untuk bermain bersama mereka, beri mereka tontonan dan media belajar yang positif, biarkan mereka mengeksplorasi pengalaman dan imajinasi mereka (selama itu positif), ajak mereka berbicara tentang perasaan yang mereka alami, dan banyak lagi. Dan mulailah dari detik ini, dari adek dirumah yang selalu mengusili dan membuat kehebohan dirumah, anaknya tetanggamu, anaknya ibu kos mu, atau anak ibu warung samping kosmu. Dan jangan lupa untuk belajar banyak hal dari mereka, salah satunya ‘tertawa dan berbicaralah apa adanya’. Semoga bermanfaat :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H