Mohon tunggu...
Nurissyarifah Chalid
Nurissyarifah Chalid Mohon Tunggu... -

"Saya tak pernah temukan hal yg mustahil Tuhan lakukan, saya cukup meyakini bahwa yg Tuhan tentukan untuk saya tak akan melebihi waktu saya"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayah, Ini Rumit!

9 Desember 2014   06:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:43 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku pernah mendengar kata bijak, entahlah dari mana, aku lupa “keadaan boleh menjatuhkanmu namun bangkit dan berusaha adalah pilihanmu”

Saat itu aku masih duduk dibangku sekolah dasar, aku belum paham mengapa ayah dan ibu setiap hari bertengkar. Saya tidak mengerti apa yang mereka ributkan, mungkin seperti aku ketika berebut mainan dengan teman kami mengeluarkan nada suara tinggi dan teriak-teriak. Ya, aku pikir seperti itu. Setiap malam, setiap hari di meja makan diruang tivi, dikamar ibu dan ayah saya selalu melihat mereka bertengkar, teriak-teriak, menghujat dan saling menyalahkan. Sampai aku kelas enam SD, ibu dan ayah berpisah (bercerai).

Aku dan kakakku tinggal bersama ibu dirumah sederhana, tidak ada perabotan mahal, aku pikir mungkin hanya TV, kulkas keci dan kipas angin yang bernilai mahal dirumahku. Aku tahu ibu setiap malam menangis sendirian meski ia mencoba tersenyum saat aku memergokinya. Semenjak Ayah dan Ibu bercerai, Ibu berusaha menghidupi kami dengan tokok kecil depan rumah. Dari usaha ini aku dan kakak bisa menikmati Sekolah SMP sampai SMA.

Biaya sekolah tidaklah murah, apalagi keadaan ekonomi keluargaku yang sederhana. Melihat Ibu bekerja siang malam tanpa mengeluh, saya menjadi kasihan ketika pada Ibu disaat biaya sekolah yang semakin mahal dan keadaannya sangat mendesak. Tidak hanya satu atau dua kali aku minta uang untuk biaya sekolahku kepada Ayah, namun Ayah selalu menolak untuk memberi, memarahiku, dan memperlakukanku seperti bukan darah dagingnya. Namun perlakuan Ayah tidak demikian kepada kakak, tanpa kakak minta pun ayah selalu memberikan fasilitas yang nyaman, uang saku sekolah, biaya sekolah, kendaraan dan lain-lain.

Aku merasa tertekan dengan keadaan ini, bagaimana bisa seorang Ayah memperlakukan anak kandungnya seperti anak orang lain. Mungkin keterbatasan materi/uang tidak membuatku sangat terpuruk seperti ini, namun dalam hidupku aku tidak pernah merasakan perhatian dan kasih-sayang dari seorang Ayah. Dulu waktu kecil aku akan menangis jika tidak dibelikan mainan oleh ayah seperti ayah selalu membelikan mainan kepada kakak. Namun saat ini, aku mulai mengerti bahwa aku menangis karena aku merasa sendirian, tidak punya sandaran dan aku bingung bagaimana cara agar aku bisa mencari biaya sendiri untuk sekolahku. Sekaligus aku menyimpan dendam dan benci kepada Ayah !

Saat kelas dua SMA akhirnya aku memutuskan untuk kabur dari rumah, mencari pekerjaan sambil terus melanjutkan sekolah. Saya mendapatkan pekerjaan sebagai tukang las besi, sedikit demi sedikit aku mengumpulkan uang untuk biaya hidup sehari-hari dan untuk biaya sekolahku.

Setelah lulus SMA aku pulang kerumah. Satu tahun aku tinggalkan, pasti ibu sangat sedih dan kecewa tapi Ibu mau menerimaku kembali dan tetap menyayangiku. Berbeda dengan Ayah yang sama sekali tidak menaruh perhatian dan kasih-sayang secuilpun kepadaku. Kedatanganku kembali tidak membuatnya merindukan aku dan memelukku bahkan ia tidak lagi menganggapku sebagai darah dagingnya.

Setelah lulus SMA aku memutuskan untuk menikah dengan wanita pilihan hatiku. Harapan terbesar diacara pernikahanku adalah Ayah akan datang dan mendampingiku. Ternyata malang kembali menimpa, Ayah tidak datang ! berbeda dengan pernikahan kakakku beberapa tahun lalu, Ayah datang mendampingi kakak bahkan dari persiapan acara sampai acara selesai. Apa yang berbeda antara aku dengan kakak? Mengapa aku tidak merasakan kebahagiaan dari Ayah selayaknya kakak mendapatkannya?

Kini aku tidak peduli lagi bagaimana perlakuan Ayah terhadapku. Benci dan kecewa sudah lama berakar dan semakin besar dalam hatiku. Ayah tidak datang disaat aku benar-benar membutuhkannya. Namun keadaan sakit ini mengajariku bagaiamana bertahan dan berjalan diatas kaki sendiri. Belajar menghapus air mata sendiri, belajar membalut luka sendiri.

Kini, kehidupan rumah tanggaku meski dengan istana anyaman bambu dan reot, didalamnya ada Aku sebagai Ayah, Istriku dan Anakku yang menjadi penerang hidup. Anakku adalah harapanku, kelak ia akan tubuh menjadi anak sholeh dan kasih sayang pada Anakku tidak akan berkurang sejengkalpun.

"Ayah, bagaiaman kamu melihatku? Aku ini masih anakmu kan? jangan marahi aku saat aku minta mainan, jangan juga berteriak didapan ibu, jangan paling mukamu saat bertemu denganku, jangan menjadi jauh Ayah..." bagaimana cara aku mengatakan ini? rumit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun