Tidur, aktivitas paling menyenangkan dalam 24 jam aktivitasku. Karena saat tertidur aku bisa bermimpi. Dalam mimpiku ada kamu. Dalam mimpiku kamu benar-benar milikku. Hanya ada kita berdua dan kita bahagia. Enggan rasanya terbangun dan menghentikan mimpi indah ini.
Seandainya aku hanya perlu tertidur untuk tetap bisa menjalani hidupku. Tetap hidup dalam mimpi panjangku bersama liarnya imajinasiku menentukan alur ceritanya, tokoh yang terlibat di dalamnya sampai menentukan akhir cerita hidupku sendiri.
Kehidupan nyata terlalu keras bagiku. Begitu banyak hal yang berjalan tidak sesuai dengan keinginanku. Aku ingin tertidur lebih lama agar bisa melewatkan hal-hal yang sulit aku terima. Entah mengapa sejak aku kecil begitu banyak hal sulit yang aku alami. Di usiaku yang masih begitu kecil ayahku meninggal dunia, lalu ibuku menikah lagi dan dia bukanlah ayah tiri yang baik. Aku pun pergi meninggalkan rumah dan menjalani hidupku sendiri sejak usia remaja.
Aku sudah terbiasa bekerja apa saja agar tetap bisa bersekolah. Karena menurutku aku bisa merubah hidupku jika aku punya pengetahuan yang baik. Sekarang aku bekerja di sebuah perusahaan yang lumayan besar. Penghasilanku selama bekerja disini memang tidak seberapa, tapi masih cukup untuk memenuhi kebutuhanku dan ibuku yang tinggal di kampung.
Belakangan ini hidupku mulai membaik, semua berjlan lancar dan sesuai harapanku. Aku memiliki teman yang baik, aku bekerja di perusahaan yang bonafit, dan memiliki kekasih yang begitu menyayangiku. Namanya Vano, aku bertemu dengannya saat meeting di sebuah kafe. Sejak pertemuan itu dia senring mengunjungiku dan mengajak bertemu. Sampai suatu hari dia menyatakan perasaannya dan kami resmi berpacaran.
***
Aku beruntung memiliki Vano. Hari-hariku terasa mudah saat bersamanya. Tak terasa hubungan kami sudah berjalan dua tahun. Aku selalu bahagia saat melihatnya kecuali hari itu, ketika aku sedang jalan-jalan sore bersama sahabatku aku melihatnya bersama seorang gadis, mereka tertawa berdua, kelihatannya sangat bahagia. Aku pun melihatnya memberikan cincin dan memakaikannya di jari manis gadis itu.
Dengan sisa-sisa ketegaranku aku hampiri mereka.
"Vano, dia siapa?"
Vano pias melihatku sudah ada di depannya. Dia diam tak menjawab apapun. Dan pertannyaan itu pun di jawab oleh gadis itu. "Aku Vania, pacarnya Vano. Kamu teman kantornya ya?"
Rasanya baru saja ada sekerat batu besar yang di lempar ke arahku. Rasanya aku sudah mau menangis, tapi aku tak selemah itu. Aku berlalu meninggalkan mereka berdua, meninggalkan kebingungan bagi Vania yang samar-samar terdengar meminta penjelasan.