Buku, Dunia dan Harapan
Nur Isdah Idris
I have always imagined that paradise will be a kind of library (Jorge luis Borges)
Jorge Luis Borges adalah seorang tokoh literasi penting di abad ke-20. Dia seorang penulis puisi, esai, penrjemah, penulis buku dan cerita pendek. Karya-karyanya selain dipengaruhi oleh Cervantes, Kafka dan Chesterton, juga banyak dipengaruhi oleh pandangannya terhadap agama dan keagamaan. Jadi wajarlah jika seorang Borges merepresentasikan khayalannya tentang surga yang berwujud perpustakaan.
Adakah yang sependapat dengan Borges? Saya salah satunya, dan juga teman saya Aan Mansyur, penyair dan penulis buku, penulis puisi, yang namanya begitu sering nongol di koran minggu Kompas. Sejauh saya mengenal dia, rasa-rasanya semua pertemuan kami bertempat di perpustakan, yang ah saya terlalu mewah untuk mengatakan perpustakan, di sebuah ruang kecil yang berukuran paling besar 5 x 7 meter yang berisikan 7-10 rak buku buatan tukang lokal plus buatan Olympic. Dia sangat mencintai buku sampai tidak ada waktu yang saya temui dia tanpa buku. Saking cintanya dengan buku, perpustakaan yang dia rawat sudah beberapa kali berganti nama dari Biblioholic, Inninnawa, dan sekarang katakerja. Coba baca beberapa karyanya, kalian pasti sama berharapnya dengan saya. Betapa mudah dia merangkai kata seindah dan se-bermakna itu. Jangan banyak berharap seperti dia jika belum mampu membaca literatur sastra sebanyak yang dia baca. Tapi yang tepenting kebiasaan membacanyalah yang menghantar pada kepenyairannya.
courtesy : Esha Tegar Putra
Saya bukan seorang penyair seperti Aan Mansyur. Tapi bukulah tempat berpaling paling nyaman sedunia. Buku membuat waktu pulang sekolah menjadi waktu paling menyenangkan sekaligus paling dinantikan disepanjang hari. Cukuplah peluh dan lelah terbasuhkan lewat tumpukan buku yang kusewa atau kupinjam pada teman dan toko persewaan samping sekolah. Kebiasaan membaca sambil tidur masih terbawa sampai sekarang, sampai menikah dan mempunyai anak. Entah berapa ribu kali Bapak, Mama, Ummi (nenek) menegur untuk sekedar makan siang atau tidak membaca selagi tidur. Bisa membuat mata rusak! Kata mereka. Namun, syukurlah karena saya ber –DNA warisan dari keluarga Bapak dan Ibu yang tidak mempunyai masalah dengan mata. Ummi berumur 73 pada saat beliau meninggal, tapi beliua memakai kacamata pada saat mengaji saja.
Pun, ketika saya beranjak dewasa, buku menjadi sahabat yang paling setia di waktu sendiri. Di kala sahabat pergi untuk sekedar pacaran. Maka saya akan pacaran dengan buku di kamar. Buku menjadi teman yang baik karena tidak pernah mood-mood-tan, buku juga tidak pernah memarahi atau menilai kita, buku menjadi mood booster terbaik se-dunia. Buku pula yang menghantar imaginasi akan dunia di luar sana. Dunia yang jauh dari lingkungan rutinitas yang mencabut kebebasan kita. Dunia yang dipenuhi dengan daun-daun yang warnanya tidak melulu hijau, tetapi bisa berubah tergantung musim yang sedang berlangsung. Dunia yang berbeda.
Beberapa tahun yang lalu, sebagai mahasiswa Hubungan Internasional, bacaan mengenai negara-negara lain terutama negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Australia dan negara pasti menjadi bacaan wajib. Kajian tentang pemerintahan, pengambilan kebijakan politik luar negeri, sistem pemerintahan suatu negara tentu menjadi bahasan mata kuliah jurusan ini dan sangat familiar di benak kami mahasiswanya. Ketika itu teringat suatu pembahasan tentang Australia.Tetiba, terkesan dengan perbedaan sejarah kota yang berbeda-beda di sana, saya pun mencari berbagai literature tentang negara ini. Tentang berdirinya kota Sydney, Canberra dan Melbourne serta beberapa kota besar di Australia dan saking terkesannya, rasanya ingin terbang saja ke sana melihat langsung dengan mata kepala sendiri. Salah satu cerita yang teringat adalah bagaimana gold rush pada abad 17-an menarik orang-orang Eropa untuk datang ke Australia, tepatnya di Melbourne. Dari situlah kemudi mereka yang membangun kota cantik Melbourne seperti yang kita bisa lihat sekarang. Dari imaginasi itulah akhirnya terbesit sedikit hayalan dan harapan untuk bisa menginjakkan kaki di sana. Harapan tentu hanyalah hayalan karena untuk melihat kota di Jawa saja, itu sudah cukup mewah untuk anak yang lahir dan besar di kota Makassar ini.
Suami dan anak berdiri di depan Museum Gold Office di Balarat
Courtesy by : Nur Isdah
Kira-kira sepuluh tahun di setelahnya, di tahun 2006, imaginasi itu menjadi nyata, Saya berdiri di sini, mengambil foto suami dan anak saya yang berumur kurang dari setahun, di depan Gold Office yang berada di dalam kompleks museum penambangan emas di Ballarat, tempat dimana golden Rush itu bemula. Daerah ini saya ketahui jauh sebelum saya menginjakkan kaki di sini.Sejarahnya, latar belakangnya dan daerahnya. Darimana lagi kalau bukan dari sebuah buku?
Sayangnya ketika saya sudah menjadi seorang ibu, membaca menjadi kegiatan yang paling mahal harganya. Waktu mengurus anak menjadi proritas dan rutinitias harian menjadi hal yang seringkali tak berujung. Ketika kita menjadi seorang ibu, seringkali rasanya tidak ada waktu untuk duduk bersantai sekedar membaca sebuah buku, topik buku yang kita sukai pun akan sedikit bergeser ke topik bedtime stories atau buku anak-anak. Semuanya harus siap dibacakan kepada si kecil. Untungnya semua anak-anakku menyukai membaca dan dibacakan buku. Adakah yang lebih membahagiakan selain melihat anak kita menyukai apa yang kita juga sukai?
Suatu ketika, seorang teman menelepon untuk mengucapkan selamat tinggal karena akan melanjutkan sekolah doktoralnya ke Canada. Di tengah percakapan via telepon itu, Anakku yang kala itu berusia 6 tahun waktu itu menarik-narik baju dan memperagakan gerakan yang tidak kupahami. Sepertinya dia menyuruh untuk menyambungkan ke dia ke teman. Akhirnya telepon kuberikan padanya dan dia pun berbicara dengan teman yang dipanggilnya om Ary. Dia ternyata menitip oleh-oleh untuk dibawakan dari Kanada selepas dia pulang nantinya. Dia meminta sirup sebagai oleh-oleh. Ha? Sirup? Kedengarnya agak aneh, Tapi agar percakapan dipercepat maka saya dan teman mengiyakan saja. Baru beberapa bulan setelahnya saya teringat akan permintaannya dibawakan sirup. Jadi saya menanyakannya. Pikirku mengapa sirup? Sirupkan banyak di sini, kenapa mesti dari Kanada? Kemudian dia menjelaskan dengan panjang lebar yang membuatku melongo.
“Bunda, om Ary itu kan mau ke Canada, di sana itu terkenal dengan sirup Maple-nya, jadi saya minta aja dibawakan sirup maple oleh om Ary. Canada itu terkenal dengan daun daun Maplenya, itu bunda, daun yang bentuknya seperti jari tangan. Bunda tidak percaya? Baca saja buku ensiklopedi negara-negara. Itu buku yang warna biru yang bunda belikan !”
Sepertinya saya dan semua orang tau apa itu daun maple dan ditemukan dimana. Tapi jika ada anak 6 tahun dapat menghubungkan Daun Maple, negara, sirup dan teman Bundanya yang akan ke Canada. Itu luar biasa saja menurut saya.
Ada lagi cerita yang lain, suatu ketika saya memperoleh undangan untuk menghadiri seminar Internasional tentang resolusi konflik. Di undangannya terdapat symbol bendera-bendera peserta yang ikut berpartisipasi, sekitar 10 negara se-Asia Tenggara. Dalam perjalanan menuju tempat seminar sekaligus mengantar anakku ke sekolah terlebih dahulu, tiba-tiba dia nyeletuk dengan percaya dirinya. “Malaysia, Vietnam, Brunei Darrusalam, Timur Leste, Indonesia, Myanmar, Thailand, Filipina, Singapura, dan Laos”. Saat itu saya menduga saja, dia sedang menghapal negara-negara.
Namun, setelah tiba di dalam ruangan baru saya perhatikan dengan detil undangan acara ini. Betapa kagetnya saya, karena ternyata anakku tadi menyebut nama negara berdasarkan urutan bendera yang tersusun di undangan ini, dia tidak ternyata tidak menghapal seperti sangkaanku! Dia ternyata menyebut urutan bendera dengan tepat negara sesuai urutan bendera itu tanpa keterangan tulisan negara sama sekali. Coba bayangkan apa yang telah dilakukan buku pada seorang anak berusia 6 tahun ini!
Courtesy: Nur Isdah Idris
Mendukung anak untuk membaca buku merupakan long-life-investment. Orang tua, sekolah, lingkungan diandaikan bab-bab yang akan memenuhi kehidupannya dan bukulah yang melengkapi setiap chapter itu. Sebagai orang tua, kita tidak bisa setiap saat mendampingi anak-anak kita untuk menjelaskan segala hal di dunia ini. Karena kiita pun masih selalu perlu untuk mengupgrade pengetahuan dan kemampuan kita. Buku mampu mengambil peranan itu. Di saat kita kelelahan sepulang kantor, rasanya betapa menyenangkan mendengar kicauan seorang anak yang menjelaskan tentang Jerman adalah penghasil sosis terbanyak di dunia dan memilki variasi sosis terbanyak di dunia. Di mana kita waktu itu? Di mana kita ketika anak-anak kita sedang menimbah ilmu? Kita sedang di kantor saat anak-anak itu membaca buku di rumah. Mereka melengkapi dirinya dan hidupnya sendiridan kelak akan memiliki perpesktif sendiri dalam kehidupannya. Menyenangkan sekali!
Untuk itu, sekali mengajarkan anak untuk membaca, seumur hidup mereka dan kita orangtuanya akan memperoleh benefitnya. Kita sebagai orang tua hanya perlu menginvestasikan uang dalam bentuk buku. Belilah buku. Belilah rak yang bagus. Penuhilah dengan buku. Dan mari sama-sama membaca. Kita dan anak. Kita dan mereka bersama membaca buku. Dengan begitu kita menitipkan harapan pada anak kita, generasi kita selanjutnya. Harapan yang bahkan kita tidak akan sanggup memimpikannya. Harapan tinggi setinggi imajinasi yang tiada batasnya melalui buku. Biarkan mereka, anak-anak kita memilikinya.
Jadi pertanyaan saya sekarang, kira-kira ada tidak ya, benda lain yang bisa menggantikan fungsi buku ini? Anak saya yang lagi duduk disebelah saya menggelengkan kepala dan saya kira saya setuju akan pendapatnya. Tidak!
*Tulisan ini akan diikutkan pada lomba blog Competition dan Nangkring IIBF 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H