Mohon tunggu...
Nur Isdah
Nur Isdah Mohon Tunggu... pegawai negeri -

A mom of two, a lecturer, a Day dreamer, A friend

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Harapan Untuk Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah Yang Baru

31 Oktober 2014   17:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:03 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Harapan Untuk Kementerian Kebudayaan dan
Pendidikan Dasar Menengah yang Baru
Oleh:
Nur Isdah Idris*

Presiden Jokowi telah mengumumkan jajaran kabinet dan nama-nama menteri yang akan membantu dalam pemerintahannya beberapa hari yang lalu. Salah satu kementrian yang baru adalah Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah terpisah dengan Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi. Anies Baswedan, Rettor Universitas Paramadina sekaligus anggota dari Rumah Transisi Jokowi-Jk didaulat sebagai menterinya. Melalui Kementerian baru ini muncul beberapa harapan akan sistem pendidikan Indonesia sekaligus memunculkan pertanyaan : Sistem pendidikan apakah yang diharapkan orang tua murid untuk anak-anak mereka? Pendidikan seperti apa yang yang dibutuhkan negeri ini?

Jawabannya sederhana, pendidikan yang diharapkan adalah pendidikan yang memanusiakan sesuai dengan umur anak didik tersebut. Lalu, apakah yang dimaksudkan dengan memanusiakan? kalimat kerja yang mengajak kita untuk memperlakukan anak didik secara substansial baik secara fisik maupun emotional/kejiwaan mereka. Salah satunya dengan memfasilitasi aktivitas otak dan fisik yang dirancang disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan usia anak didik. Mengapa ini menjadi penting? karena selama ini pendidikan Indonesia telah menjadikan anak didik kita sebagai mahluk non-humanis. Mereka, anak didik kita, diperlakukan secara tidak sadar sebagai mahluk mekanis yang senantiasa direcoki sistem pendidikan sentralistik, kaku, ketat dan tidak dialogis.

Pendidikan yang Sentralistik
Sistem pendidikan Indonesia saat ini masih sangat sentralistik. Contoh paling utama adalah kurikulum yang harus dibuat di pusat atau di Jakarta. Ini menjelaskan bahwa sistem desentralisasi yang terjadi di sistem politik dan pemerintahan Indonesia tidak sampai pada sektor pendidikan. Bagaimana mungkin kurikulum, materi pembelajaran dan bahkan soal ujian dibuat terpusat jauh dari guru dan murid yang akan menjalani proses belajar-mengajar itu. Pendidikan yang bersifat sentralistik ini berjalan dari tahun ke tahun dan sayangnya tidak ada satupun dari “pusat” itu mengkaji dan mengevaluasi apa sebenarnya yang dibutuhkan anak-didik di daerah sampai saat ini. Penyamarataan persepsi akan kultur dan kondisi di daerah dengan pusat atau Jakarta membuat pemerintah telah salah membuat kebijakan.

Sistem pendidikan di masa orde baru menurut Barbara Leigh (1999) dalam tulisannya di Learning and Knowing Boundaries: Schooling in New Order, mengatakan bahwa pemerintah orde baru dia telah mengawinkan antara pendidikan dan politik. Rezim yang memerintah telah menggunakan pendidikan sebagai alat doktrin yang ampuh untuk menstabilkan posisi rezim agar tetap berkuasa. Jika menilik dari pendapat itu pastilah kita mampu berpikir bahwa pendidikan di masa orde baru bertujuan untuk tujuan politik bukan untuk melahirkan anak didik menjadi manusia yang berkualitas dan mandiri melainkan anak didik yang patuh dan taat pada pemerintah yang berkuasa. Lalu jika jelas alasannya, mengapa sistem pendidikan Indonesia sekarang ini masih mengacu pada sistem pendidikan orde lama itu?

Ujian Nasional
Kebijakan yang salah terlihat pada sistem Ujian Nasional. Bukankah Ujian Nasional adalah produk dari sistem sentralistik yang juga anak kandung dari sistem orde baru yang, katanya, telah lama kita tinggalkan. Ujian Nasional juga memperlihatkan kelemahan sistem pendidikan sentralistik ini. Soal ujian dibuat dengan tipe pilihan ganda untuk mempermudah mesin memeriksa hasil ujian siswa secara massive bukan menilai perkembangan siswa secara spesifik. Pemeriksanya mesin bukan manusia. Soal ujian esai tidak dikenal dalam sistem ini karena tipe soal esai membutuhkan kreativitas pembuat dan penjawab soal yaitu guru pembuat soal dan murid si penjawab soal. Terlebih lagi soal esai tidak bisa diperiksa dan dinilai secara massive (bukan pekerjaan mesin). Dibutuhkan pemeriksa dengan jumlah yang cukup besar, kreatif dan visioner untuk memeriksa jawaban kreatif siswa yang bervariasi. Disinilah letak kelamahannya, anak didik kita dilihat sebagai jumlah angka kuantitas bukan manusia perorangan yang pembelajaran dan evaluasinya membutuhkan metode spesifik. Sistem ini melahirkan anak didik yang mekanis, homogen dan massive, bukan anak didik yang kreatif, solutif dan mandiri.

Pergantian kurikulum di setiap pergantian menteri tidak juga mengganti sistem pendidikan yang lama. Ujian nasional menjadi produk akhir dari satu siklus/ tahun pembelajaran menjadi momok yang sangat menakutkan bagi siswa, guru, kepala sekolah, orang tua murid, bahkan menteri pendidikan nasional itu sendiri. Mengapa demikian karena evaluasi ini diasumsikan sebagai wajah pendidikan nasional Indonsia. Tahukah kita dimana salah kaprah ini bermula? bagaimana mungkin evaluasi terhadap sistem pendidikan nasional ini dibebankan kepada nilai siswa? Bagaimana mungkin kualitas manajemen penyelenggaraan sekolah diukur melalui nilai siswa? dan bagaimana mungkin kinerja seolah dan perangkat pendidikan lainnya diaudit melalui nilai akhir siswa? Kenapa harus siswa yang dikorbankan? Evaluasi seharusnya merata kepada guru, kepala sekolah, penilik, departemen pendidikan dan menteri pendidikan. Siswa tidak wajib untuk diuji melalui selembar kertas yang menegangkan, kehidupannyalah kelak yang merupakan ujian ril bagi siswa didik ini. Lagipula, Undang-undang mengamanatkan bahwa pemerintah berkewajiban menyelenggarakan pendidikan untuk semua rakyat Indonesia tanpa terkecuali, bukan terkhusus untuk siswa yang lulus. Berikutnya, tahuka penyelenggara pendidikan di negeri ini bahwa pendidikan sebenarnya adalah penyelenggararan prose memfasilitasi aktivitas otak untuk bisa berfikir menghasilkan solusi (solution maker) bukan aktivitas menilai hasil kerja otak.

Pendidikan yang memanusiakan
Negeri ini membutuhkan Pendidikan yang memanusiakan, yaitu sitem pendidikan yang paling sesuai untuk pendidikan dasar dan menengah. Memanusiakan mengandung arti penyadaran akan nilai manusia yang ada di setiap siswa didik. Penyelenggaraan proses pendidikan adalah alat untuk menyediakan stimulasi sehingga otak terlatih dan siap untuk menghadapi tantangan yang akan ditemui tiap anak didik ini kelak. Sehingga proses belajar mengajar seharusnya berada dalam kondisi menyenangkan, bebas dari ketakutan dan tekanan, keantusiasan dalam belajar. Pada akhirnya, orangtua anak didik (bahkan semua pihak) hanyalah berharap sekolah menjadi tempat yang menyenangkan bagi siapapun untuk belajar, dimana anak didik masih bisa bermain, mengasah dan mengembangkan kreativitas mereka, bersosialisasi dengan teman sebaya, menciptakan karakter yang empatik pada lingkungan sekitar dan mempunyai kemampuan yang mampu memecahkan solusi dalam tahap-tahap perkembangan hidupnya. Kami menitipkan anak kami pada sekolah ini pak. Selamat Bekerja Bapak Anies Baswedan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun