Mohon tunggu...
Nur Isdah
Nur Isdah Mohon Tunggu... pegawai negeri -

A mom of two, a lecturer, a Day dreamer, A friend

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

#illridewithyou #wellridewithyou Pesan Cinta Australia untuk Dunia

16 Desember 2014   19:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:11 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_383050" align="aligncenter" width="600" caption="www.twitter.com"][/caption]

#illridewithyou #wellridewithyou Pesan Cinta Australia untuk Dunia

Di suatu malam beberapa tahun yang lalu saat saya masih berkuliah di Australia, saya dan suami pulang menggunakan tram menuju rumah. Di atas tram waktu itu agak sedikit lengang tapi tetap masih banyak penumpang karena malam pun belum terlalu larut. Ketika kami baru saja duduk, tiba-tiba ada seorang lelaki berkulit putih berdiri dan berjalan menghampiri suami saya.

Dia langsung berkata :

“Hey man, How many wifes do you have?

Saya agak merinding mendengar pertanyaan rasis itu mengingat saya memakai jilbab menutupi kepala saya. Sepertinya dia mengganggap orang muslim itu memliki banyak Istri.

Suami pun berkata “I have ONE wife and she is my wife, do you have any problem with that?”

Si lelaki itu tetap memberikan pertanyaan yang mulai meresahkan dan cenderung mumbling.

Terus terang saya merasa saat itu, saya merasakan ketakutan dan saya pun meyakini bukan cuma saya saja di tram waktu itu merasakan ketakutan yang sama. Saya seorang muslim dan saya tidak tau agama atau keyakinan penumpang yang lain, namun saya yakin sekali saya bersama mereka.

Di tengah situasi yang mencekam itu, tiba-tiba saja, Driver tram menghentikan tramnya di TENGAH JALAN, bukan di stop-an semestinya tram berhenti. Lalu, dia (yang saat itu saya ingat sebagai lelaki kulit putih juga) mendekati kami dan menyuruh lelaki yang bertanya tadi untuk turun dari tram yang dia kendarai. “Hey, man you are making an inconvenient  situation for this couple (dia menunjuk kami) so have to get out from here…or I’ll call the police!

Oh My God, saya bear-benar tidak mempercayai dan meyakini apa yang terjadi saat itu. Rasanya kami terselamatkan saat itu juga. Sesaat setelah si lelaki itu turun dari tram barulah si Driver kembali ke kursinya untuk mengemudi, tapi sebelumnya Dia sempat berkata "Sorry man for this unconvinience….!"

Kami masih syok dan akhirnya sampai di stop-an kami harus turun, kami pun beranjak dan berjalan turun dari tram. Hal luar biasa terjadi kembali, hampir seluruh penumpang malam itu yang menyaksikan peristiwa itu menyapa kami  dan menyesalkan kejadian yang baru terjadi itu.

He’s not worth it...

Sorry...

This is not how Australian supposed to be…

Dan masih banyak lagi ucapan ke kami, kami begitu tersentuh. Begitulah warga Melbourne, Australia dalam ingatan saya.

Kemarin, 15 Desember 2014, terjadi aksi penyanderaan di Lindt Chocolat Cafe, Martin Place Sidney, oleh seorang ( awalnya di sebut oleh media dua orang) yang membawa bendera hitam bertuliskan tulisan arab di aksinya.  Selama 17 jam penyanderaan yang berkahir buruk. Tiga korban terjatuh, Tori Johnson, manajer kafe Lindt Chocolat dan Katrina Dawson, Barista dan ibu dari tiga orang anak. Korban ketiga adalah pelaku penyanderaan Man Haron Maonis. Seluruh dunia mengutuk aksi keras penyanderaan tersebut . Tidak ada alasan yang bisa membenarkan aksi teror tersebut. Australia berduka.

Di tengah moment krisis tersebut, di tengah rasa ketakutan yang memuncak ini Australia memperlihatkan pembelajaran moral yang tidak ada duanya. Di mulai ketika seorang wanita bernama Rachel memposting komentar ketika Dia melihat seseorang di dalam kereta membuka jilbab yang melindungi kepalanya karena rasa takut. Dia pun mendekati perempuan berjilbab tadi dan menyuruh memakainya kembali dan berkata jangan takut, saya akan menemanimu. Dari postingan itupun menjadi viral di media sosial. Hingga kini terdapat ratusan ribu postingan #illridewithyou #wellridewithyou yang menguatkan solidaritas global untuk tidak membenci satu agama tertentu karena ulah satu orang yang secara tidak bertanggungjawab mengatasnamakan agama tersebut.

Australia bisa berbangga hati memiliki kekuatan solidaritas ini. Mereka, warga negara Australia berdiri menentang semua aksi teror, tetapi bersama-sama menciptakan kedamaian dan solidaritas di tengah-tengah moment krisis ini. Mereka berdiri melawan ketakutan akan teror tetapi bukan terhadap pemeluk agama yang tidak ada sangkut pautnya dengan pelaku teror.

Di salah satu twit saya menemukan gambar ini. Di posting untuk mengingatkan bahwa ilustrasinya seperti ini: ada 1,57 juta orang moslem di dunia ini dan Al qaeda <10.000 dan Taliban 36.000 why we hate the majority who are not involved in this terror? Mereka orang Australia paham dan menyebarkan kepahaman ini.

Belajar dari Australia

Mengapa mudah sekali kita menemukan kalimat indah penuh kedamaian dan cinta yang keluar dari orang-orang yang bahkan tanahnya bukan mayoritas orang Islam?

Mari kita lihat mengapa fenomena #illridewithyou terjadi di Australia ini:

1.Orang Australia mengerti bahwa pelaku penyanderaan ini adalah pelaku tunggal yang sama sekali tidak bertanggungjawab atas satu agama pun. Mereka mengutuk pelaku dan aksi terorrnya bukan berdasar symbol-simbol agama yang diperlihatkan pelaku. Pemahaman yang berasal dari tingkat pendidikan, latar belakang dan pengalaman memberikan pemahaman yang objektif atas suatu kejadian.

2.Bersama dengan warga Australia, media sangat berhati-hati dalam memporting berita menyangkut aksi terror ini. Di blog seorang warga Australia saya mengutip kalimat ini ;

“And yet I have never been so proud to call Australia home. I am proud of the responsibility our media took by -- en mass -- agreeing not to give this violent and terrible perpetrator a voice. As a magazine writer myself, I know how tempting is the hysterical headline. Yet, on the whole, our TV stations, radio networks and our newspapers exercised restraint in their coverage to protect the safety of those trapped inside. And now that is is over, they are at pains to reemphasize again and again that the perpetrator was a lone assailant, not part of an organized religious threat.”

Saya sangat setuju, jika media massa sangat berpengaruh dalam mengarahkan pendapat pembacanya dan bukannya menulis berita yang bombastis tetapi juga mempertimbangkan dampak yang akan terjadi akan publisitas itu.

Media di Australia turut ikut “meredam” dan menguatkan aksi solidaritas dengan menganggkat angle-angle berita yang tepat. Jika kita perhatikan, cobalah searching #illridewithyou, kita akan melihat hastag itu memenuhi berita-berita di Asutralia saat ini, dan coba bandingkan dengan berita di Indonesia yang mengkat “terrorisme” di Australia sebagai terror yang tidak pernah mati. Coba bandingkan bagaimana media melihat kejadian ini.

3.Pemimpin negara, Polisi dan rescuer bersatu padu membahasakan kejadian ini sebagai aksi terror perorangan. Mereka tidak memeresahkan masyarakatnya dengan opini-opini yang menakutkan dan meresahkan selain menenangkan dan berkata kejadian ini adalah aksi terror yang dilakukan oleh pelaku tunggal dan tidak ada hubungan dengan symbol-simbol yang dibawa pelaku.

4.Mereka semua merasa mencintai Australia dan untuk itu mereka dengan sadar memahami bahwa Australia adalah tempat tinggal semua orang dengan latarberbeda. Semua bangsa, pemeluk agama, etnis dan warna kulit yang berbeda bisa tinggal dan bisa merasa aman untuk tinggal di Australai. Orang Australia sadar bahwa mengikat solidaritas melalui #illridewithu adalah salah satu bentuk dari counter-terror itu sendiri, mereka bersatu padu menentang terror dalam bentuk ketakutan itu. Australia bukan untuk agama tertentu untuk itu semua agama bisa hidup aman berdampingan di sana.

5.Saya yakin gelombang reaksi solidaritas ini bukan tumbuh dalam semalam, bukan tumbuh karena satu kejadian, melainkan ini sudah berproses lama di dalam budaya masyarakat Australian.

Hari ini genap 8 tahun saya mengalami peristiwa rasis itu, namum seperti kebanyakan warga Australia melalui posting-postingannya di media sosial, saya dan mereka tetap yakin bahwa Australian adalah tempat yang aman untuk ditinggali termasuk untuk orang muslim. Karena rasisme bukanlah bagian dari Australia.

Sayangnya di sini, di negara yang mayoritas Muslim itu kita kadang-kadang susah menemukan arti “aman”

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun