Pandemi Covid-19 menimbulkan dampak besar yang signifikan terutama pada kesehatan setiap orang, seperti perubahan pola konsumsi per harinya yang menjadi tidak menentu hingga kekurangan nutrisi penting yang dibutuhkan oleh tubuh. Anemia menjadi salah satu masalah pada bidang kesehatan gizi yang perlu diperhatikan karena tingkat kasusnya yang terbilang cukup tinggi. Anemia didefinisikan sebagai situasi dimana tubuh memiliki jumlah kandungan Hemoglobin (Hb) dalam sel darah merah yang kurang mencukupi dan berdampak pada terganggunya penyebaran oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Hal yang ditimbulkan dari anemia yang sering terjadi pada remaja putri ini terbilang cukup memprihatinkan dan butuh perhatian lebih, seperti masalah kesehatan yang dapat menyebabkan ketidakoptimalan kinerjanya selama sekolah, dan alhasil prestasi pun menurun. Pada masa dewasa, penyakit anemia yang dialami dapat menimbulkan efek yang lebih parah jika sedang dalam kondisi hamil karena dapat mengganggu pertumbuhan serta perkembangan si janin, dan lebih bahayanya berakibat pada kematian ibu dan anak.
Penduduk yang mengalami anemia memiliki persentase sekitar angka 30% atau setara dengan 2,20 miliar orang dengan mayoritas bertempat tinggal pada daerah tropis, dengan prevalensi anemia secara global sekitar 51% (Suryani, Hafiani, & Junita, 2017). Data WHO dalam Worldwide Prevalence of Anemia menunjukan bahwa total keseluruhan penduduk dunia yang menderita anemia adalah 1,62 miliar orang dengan prevalensi usia pra sekolah 47,4%, usia sekolah 25,4%, wanita usia subur 41,8% dan pria 12,7%. Kemenkes RI (2013) menunjukkan angka prevalensi anemia dalam lingkup nasional dan semua usia adalah 21,70%. Prevalensi anemia yang dialami oleh kelompok perempuan cenderung lebih tinggi yaitu sebesar 23,90%, dan jika dibandingkan laki-laki yang sebesar 18,40%.
Dalam menangani penyakit anemia atau kekurangan sel darah merah, diharuskan memperbanyak konsumsi makanan atau minuman dengan kandungan zat besi yang bermanfaat untuk menambah jumlah Hemoglobin (Hb) yang diperlukan oleh darah, salah satunya contoh sumbernya adalah ciplukan. Tanaman ciplukan sering dianggap sebagai benalu karena tumbuh liar di mana saja oleh masyarakat terdahulu. Tanaman ciplukan dapat tumbuh dalam tanah dengan kondisi pH 6,6-7,5 atau dapat dikatakan mendekati netral, subur, serta tidak tergenang air. Tanaman ciplukan juga mampu tumbuh pada tanah yang kurang terawat, serta agak padat bersama dengan tanaman liar yang lainnya, tetapi pada realitanya, ciplukan ini menjadi tanaman liar yang memiliki beragam khasiat. Kandungan vitamin C pada ciplukan ini dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh, serta jika dijadikan ekstrak dapat digunakan sebagai terapi anemia pada remaja putri ketika berada dalam masa menstruasi.
Selama pandemi Covid-19 ini terjadi, pencegahan anemia harus menjadi salah satu fokus utama bagi setiap orang. Dengan semakin tingginya kasus ini pun sangat berbahaya bagi generasi kedepannya. Maka dari itu, masyarakat harus selalu berusaha untuk dapat mengonsumsi zat gizi kaya akan besi, karena sifatnya mampu untuk menambahkan kadar Hb dalam darah yang diperlukan oleh tubuh untuk tercapainya kesehatan maksimal. Kandungan tinggi zat besi ini dapat ditemukan pada tanaman ciplukan yang dapat diolah menjadi ekstrak buah ciplukan.
Berdasarkan sebuah penelitian, menunjukkan bahwa sebagian besar remaja mengalami kenaikan kadar Hb setelah mendapatkan ekstrak tanaman ciplukan. Sebanyak 52 remaja (80,00%) dari total 65 remaja dalam kelompok eksperimen target berhasil mengalami peningkatan Hb dalam kurun waktu empat bulan. Peningkatan Hb didominasi terjadi pada remaja berusia 18-21 dengan persentase sebanyak 42,66% atau sekitar 32 orang. Dari kasus tersebut dapat dilihat bahwa tanaman ciplukan terbukti manfaatnya dalam membantu peningkatan kadar Hb dalam sel darah.
Selain tinggi akan zat besi, terdapat kandungan berkhasiat lainnya pada tanaman ciplukan, salah satunya adalah vitamin C yang juga berguna untuk mengatasi anemia, meningkatkan kekebalan tubuh, menjaga kesehatan pembuluh darah, dan lainnya. Berbagai zat gizi yang diperoleh dari tanaman ciplukan ini sudah terbukti ampuh dalam menangani keluhan yang dirasakan selama mengalami anemia. Keluhan yang sering terjadi seperti tubuh merasa lemas dan lemah, pusing yang sering timbul, dan tidak fokus karena sering mengantuk. Banyaknya khasiat yang dapat diperoleh dari tanaman ciplukan ini akan membantu setiap orang yang mengonsumsinya untuk tetap terjaga kesehatannya dari segala aspek. Â
Berdasarkan uraian singkat di atas, artikel ini difokuskan pada cara pengolahan dan pemanfaatan tanaman ciplukan dalam mengatasi dan mencegah peningkatan anemia saat pandemi Covid-19. Tujuan dari penulisan artikel ilmiah konseptual ini adalah untuk menjelaskan secara lengkap mengenai bagaimana cara pengolahan dan pemanfaatan tanaman ciplukan dalam mencegah peningkatan anemia pada masa pandemi Covid-19. Pembuatan artikel ini juga dilakukan sebagai upaya preventif dari maraknya kasus anemia di kalangan masyarakat. Diharapkan tujuan yang telah kami tentukan dapat tercapai dan terealisasikan dengan baik demi terwujudnya kesehatan masyarakat.
TINGGINYA PENYAKIT ANEMIA DI INDONESIA
Kasus anemia yang umumnya terjadi pada perempuan khususnya pada remaja putri masih cukup tinggi hingga saat ini, menurut World Health Organization (WHO), prevalensi anemia dunia sebesar 40-88%, lalu besar kasus anemia pada remaja putri di negara-negara berkembang sekitar 53,7% dari keseluruhannya (WHO, 2010). Tingkat kasus Anemia yang terjadi di Indonesia juga mengalami peningkatan dari sebesar 37,1% pada tahun 2013, menjadi 48,9% pada tahun 2018 (Riskesdas, 2018). Semakin tingginya tingkat kasus anemia di Indonesia banyak disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan gizi si penderita terutama kandungan zat gizi besi yang dimiliki. Makanan sehari-hari yang dikonsumsi mempunyai keterkaitan yang cukup erat dengan status gizi tubuh yang akan diperoleh. Apabila makanan atau minuman yang kita konsumsi memiliki nilai atau kualitas yang baik untuk kesehatan tubuh, maka otomatis akan diperoleh status gizi yang tercukupi dengan baik, dan sebaliknya, jika yang kita konsumsi mempunyai nilai dan kualitas yang buruk serta kandungan gizi yang kurang baik, maka dapat menyebabkan tubuh kekurangan gizi serta timbul penyakit anemia.
Kekurangan sel darah merah diakibatkan dengan menurunnya jumlah eritrosit dalam tubuh dengan diketahui melalui kadar Hemoglobin (Hb) yang tidak tercukupi di dalam eritrosit. Penyakit ini juga dapat dideskripsikan sebagai saat dimana tubuh memiliki kandungan Hemoglobin yang rendah di bawah batas normal yang seharusnya tubuh perlukan. Hemoglobin (Hb) dalam tubuh berguna untuk menghantarkan oksigen ke otot, otak, dan seluruh sel jaringan tubuh untuk dapat melakukan kerja atau fungsinya masing-masing dengan baik. Terbukti dari banyaknya kasus yang terjadi, anemia sering dialami oleh para remaja putri. Remaja putri yang menderita anemia, memiliki jumlah Hb di dalam darah sebesar < 12 gr/dl.
Gejala anemia yang terlihat dengan kasat mata adalah seperti penderita merasa lesu, lelah, letih, lemah, dan lunglai (5L) saat beraktivitas. Faktor-faktor yang dialami oleh kebanyakan remaja yang menderita anemia selain kurangnya zat gizi besi, yaitu rendahnya asupan vitamin A, folat, vitamin B12, vitamin C, riboflavin, serta terganggunya penyerapan zat besi dapat terjadi jika zat besi dikonsumsi bersamaan zat lain. Beberapa hal lainnya yang menjadi penyebab remaja putri sering mengalami anemia adalah dikarenakan hal-hal seperti menstruasi dimana pada masa itu, remaja putri kehilangan banyak darah. Selain itu, aktivitas diet yang dilakukan oleh remaja putri sering terdapat kesalahan atau tidak sesuai aturannya, lalu masa pertumbuhan yang terbilang cepat dengan ketidakseimbangan gizi juga masuk dalam penyebab timbulnya penyakit anemia.