Belum hilang dalam ingatan kita tentang pemberian grasi kepada Schapelle Leigh Corby dan Peter Grobman, terpidana kasus narkoba asal Australia yang tertangkap membawa lebih dari empat kilogram ganja tahun 2004, yang dinilai masyarakat sebagai ironi dalam kebijakan pemberantasan narkotika. Saat itu, presiden memberikan pengurangan masa tahanan hingga lima tahun dari total 20 tahun kepada terpidana.
Lagi, presiden SBY mengeluarkan keputusan yang kontroversi. Kali ini berkaitan dikabulkannya permohonan grasi terpidana mati kasus narkoba Deni Setia Maharwan alias Rafi, dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7/G/2012 yang ditandatangani Presiden pada 25 Januari 2012, dan Merika Pranola alias Ola alias Tania, dalam Keppres Nomor 35/G/2011, dimana kedua Keppres tersebut mengubah hukuman Deni dan Ola menjadi hukuman seumur hidup.
Sebelumnya, Deni dan Ola dihukum karena kedapatan membawa heroin 3,5 kg dan kokain 3 kg, pada tahun 2000. Setelah penangkapan, PN Tangerang menjatuhkan hukuman mati pada 2001. Istri Deni, seorang guru SMP, berulang kali mengusahakan keringan hukuman. Mulai tingkat banding, kasasi, PK hingga grasi pada 2010 silam.
Menurut Julian Aldrin Pasha selaku juru bicara presiden, grasi yang diberikan memiliki dasar konstitusional, yaitu dalam UUD 1945 Pasal 14 Ayat 1 dimana disebutkan presiden memiliki kewenangan grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan Mahkamah Agung. Pemberian grasi oleh Presiden, menurutnya juga mempertimbangkan alasan kemanusiaan.
Dalam perkembangannya, beberapa pihak ada yang merasa senang dengan keputusan grasi presiden tersebut, karena menganggap Indonesia telah mematuhi Hak Asasi Manusia secara universal. Sebagian lagi tidak senang, karena dianggap mencederai cita-cita pemberantasan narkoba di Indonesia.
Menurut saya, adalah hak seorang presiden untuk memberikan grasi. Namun harus diingat juga, adalah hak dia juga untuk tidak memberikannya. Banyak dampak negatif yang akan timbul dari keputusan tersebut. Tidak hanya akan menghilangkan efek jera bagi para pelaku, tapi juga akan menghancurkan moral aparat penegak hukum di lapangan, yang merasa kerja kerasnya sia-sia, karena para penjahat narkoba tidak diganjar hukuman setimpal. Selain itu, akan muncul “pemahaman” bagi pelaku-pelaku lainnya tentang “amannya” mengedarkan narkoba di Indonesia.
Alasan kemanusiaan, menurut saya sangat tidak tepat. Dari data BNN saja, setiap hari, setidaknya ada 50 orang yang meninggal karena narkoba. Tidakkah itu dianggap pelanggaran kemanusiaan? Narkoba itu sangat jahat. Dampaknya tidak hanya pada pemakai, tapi juga orang-orang disekitarnya, dilingkungannya.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan, memang kita harus menghormati hak hidup setiap orang. Namun ketika ada orang yang tidak menghormati hak hidup orang lain, sudah sewajarnya orang itu mendapatkan hukuman yang paling maksimal. Untuk kasus-kasus ekstrem, atau kejahatan luar biasa, hukuman mati sewajarnya bisa dilakukan, seperti koruptor, penjahat perang, pelaku genosida, teroris, dan juga pengedar dan/atau pembuat narkoba. Toh, hukuman mati di negara ini juga bukan tidak pernah kita lakukan.
Mungkin sebaiknya harus ada ukuran yang jelas dalam memberikan remisi, atau grasi, atau pemberian keringanan lain pada orang yang telah melakukan pelanggaran hukum. Belajar dari negara tetangga kita Malaysia dan Singapura, mereka langsung menghukum mati pelaku yang membawa narkoba. Jika kita serius ingin memerangi narkoba, tidak ada jalan lain, selain bersikap tegas terhadap pengedar dan pembuat narkoba. Jika pelaku terbukti bersalah dan harus dihukum mati demi menebus kejahatannya, kenapa tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H