Mahasiswa, menurut Jalaluddin Rakhmat, dalam bukunya Perubahan Sosial, adalah the one and only efficient opposant in the world (satu-satunya pengemban amanah oposan yang paling efisien). Sebab, mahasiswa memiliki idealisme tinggi, semangat merealisasikan tujuan perjuangan, serta punya kesiapan dan pengorbanan untuk mewujudkannya.
Itulah gambaran ideal seorang mahasiswa. Bagaimana realitanya? Jika pemerintah tak berpihak pada rakyat, apakah mereka masih bisa menjadi oposan atas kebijakan pemerintah yang mewakili kebijakan partai? Dan bagaimana jadinya jika kepentingan politik menyusup atas nama partai melalui perantara simpatisannya yang ada di kampus? Sementara partai politik tak bisa dilepaskan dari kepentingan (political interest). Sesuci apapun sebuah partai mengklaim dirinya sendiri, toh yang ada dalam politik mayoritas adalah kepentingan.
Kampus sewajarnya adalah tempat di mana orang-orang terpelajar lagi netral dari kepentingan pihak manapun. Di kampus lah kebanyakan kaum beruntung yang mengenyam kursi kuliah itu menempa identitasnya sebagai makhluk idealis dan tak mau dulu masuk lumpur politik. Spirit satu-satunya yang membuat mahasiswa selalu dielu-elukan adalah keberpihakannya pada rakyat. Jangankan kepentingan partai boleh menyusup, kepentingan pribadipun kadang disingkirkan demi kepentingan rakyat. “Rakyat pasti menang” begitu teriak salah satu lagu aksi mahasiswa. Maka jangan salahkan saya bila saya mengambil kesimpulan untuk mengganggap mahasiswa tidak boleh didomplengi kepentingan macam apapun, termasuk kepentingan parpol.
Sayangnya tak demikian. Kampus yang dulunya dianggap tempat suci dan bebas dari intervensi politik kini telah merambah ‘’dunia baru’’. Dunia yang kita semua sebut sebagai dunia kepentingan abadi. Kepentingan-kepentingan partai telah menyusup ke dalam bangku-bangku kaum intelektual yang idealis, mahasiswa.
Kekuatan partai kini seolah invisible hand bagi mahasiswa. Tangan itu bisa saja menarik kerah mahasiswa jika hendak membungkamnya, mengendorkannya kembali bila mereka ingin mahasiswa bicara, tentunya dengan syarat bahwa harus suara pro partai yang diusung. Sesekali invisible hand itu juga bisa membuat mahasiswa bak wayang, tak punya kehendak sendiri. Parpol kini telah menjadi dalang wayang modern, menjadi sutradara terbesar kehidupan politik negara, sebab mahasiswa juga telah terbeli.
Mahasiswa, apakah bisa dipastikan bahwa setiap aksi jalanannya adalah murni idealisme mereka? Apakah bisa dipastikan juga bahwa pemikiran-pemikiran mereka adalah untuk rakyat?
Pantas saja berpuluh-puluh tahun Soe Hok Gie telah menulis “ mereka yang dicalonkan adalah mereka yang terlalu banyak didomplengi”. Ternyata pendomplengan kepentingan di kalangan mahasiswa memang sudah terjadi lama, jauh-jauh hari sebelum saya menjadi mahasiswa, jauh-jauh hari sebelum saya berubah pikiran bahwa mahasiswa ternyata tak seidealis yang saya bayangkan.
Bagaimana jika sekarang bahkan kampus telah dijadikan sasaran basis massa oleh partai politik? Bagaimana juga jika kampus dijadikan tempat penyebaran paham partai? Yang paling saya takutkan adalah, bagaimana jika tidak ada lagi kepentingan rakyat pada nafas mahasiswa, tetapi kepentingan partai? Saya sungguh rindu pada mahasiswa yang berteriak penuh penghayatan,” hidup rakyat Indonesia”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H