Ada empat fakta penting tentang lelaki itu. Pertama, tempat favoritnya adalah jalanan. Orang menganggapnya sia-sia tetapi aku terkagum-kagum dibuatnya. Kedua, dia tidak mungkin lupa bahwa aku selalu menyukai idealismenya. Ketiga, dia terlalu mempengaruhi kehidupanku. Terakhir, sebenarnya dia tahu aku tidak bisa semudah itu menghapusnya. Aku relatif tidak terlalu yakin pada fakta keempat, tetapi semoga saja benar. Aku harap dia tahu aku belum bisa melupakannya sampai sekarang.
Lelaki itu tengah mengacungkan tangan terkepal penuh keyakinan. Debu jalanan membasuh wajahnya yang mulai memerah. Aku terus terhantui perasaan begitu ingin menghapus keringatnya. Teriakan lantangnya selalu berhasil menghipnotis kami semua yang bergelar parlemen jalanan. Khusus untukku, dia bukan hanya seorang orator yang ulung- Setiap kata yang dia ucapkan membuat perasaanku mengharu biru.
“Tuhan, aku ingin menghapus keringatnya. Itu saja” doaku lirih.
Tahukah kalian bagaimana rasanya jika lelaki yang sangat kalian impikan bertahun-tahun terlalu sibuk memikirkan negara? Lelaki itu bahkan menyebut politik sebagai panggilan hati. Dia begitu gelisah akan nasib negara ini. Jika ditanya soal cita-cita, dia selalu menjawab demikian, “ Pada akhirnya, hanya satu cita-cita tertinggi dalam politik, menjadi seorang negarawan.”
Negarawan kecil itu masih saja memaksakan diri berdiri meneriakkan jeritan hati rakyat negeri ini. Perasaanku sedang tak menentu karena dia tak kunjung menurunkan tempo orasinya. Dia masih saja terlalu bersemangat dengan hiruk-pikuk jalanan. Wajahnya sudah sangat kelelahan, ingin rasanya menyuruhnya istirahat sejenak.
Aku tak sengaja mencintainya, merahasiakannya dalam setiap perbuatan kecilku. Aku tak sengaja sangat terlibat dalam kehidupannya meskipun dia telah memintaku mengakhirinya setahun yang lalu. Aku, seandainya bisa mengatur perasaanku sendiri, tak ingin bertingkah sebodoh ini. Dia berhasil mengganti isi otakku yang semula “politik=sia-sia” menjadi “politik=kehidupan”. Aku, kadang ingin sekali aku mengurangi frekuensi memikirkan politik. Memikirkan politik selalu membuatku teringat padanya.
Dinamika jalanan ini menjadi sedemikian riuh hanya dalam hitungan detik. Lamunanku tersentak saat menyadari badanku basah kuyup karena siraman gas air mata. Berkali-kali ku dengar langkah lari ketakutan. Aku belum bergerak untuk melarikan diri. Perhatianku terkuras untuk mencari dimana lelaki itu berada. Mungkinkah dia sudah menyelamatkan diri sedari tadi? Aku yakin dia tidak akan sepengecut itu. Tetapi entah mengapa, dalam keadaan seperti ini aku ingin dia melarikan diri saja.
Aku berlari mencari lelaki itu. Aku takut bila dia disekap atau ditahan oleh aparat. Tetapi di sekelilingku tak ku lihat dia, Air mataku menetes. Aku yakin ini tak semata karena gas air mata, tetapi juga karena aku begitu takut. Suasana yang mencekam itu mendadak bergerak pelan ketika aku melihatnya tepat di hadapanku, Suara gemuruh ketakutan yang mencekam menjadi harmoni pengiringnya. Dia samar-samar tersenyum padaku. Ku raba jantungku, detaknya begitu keras. Setiap kali matanya memandangku, seolah sekelilingku terbakar lalu lenyap. Aku tahu, aku begitu rindu senyum calon negarawan itu.
“Dor!” Bunyi yang begitu memekak telinga tiba-tiba saja berderu lalu hilang. Sesosok mendadak kehilangan keseimbangan, mulai terjatuh. Aku yang sedari tadi memandangnya lurus di hadapanku, tiba-tiba saja tak melihatnya lagi. Dia terjatuh tepat di depanku. Tangannya memegang dadanya, seolah sesuatu telah berhasil bersarang di sana. Cairan merah pekat mulai menggenang. Sejenak aku terpaku, benar-benar tak sadar apa yang terjadi. Setelah itu air mataku seolah tak ingin berhenti. Dia tertembak, persis seperti yang ku baca tentang aktivis Trisakti saat aksi reformasi. Pikiranku kacau, entah mengapa suasana sekitarku demikian juga. Mahasiswa yang ada di jalanan mendadak makin berhamburan menyelamatkan diri. Semua lari kalang-kabut. Di dalam hatiku juga berlarian bermacam kepedihan yang tak mampu lagi ku tata sedemikian rapi. Aku tahu saat itu bahwa aku mungkin tidak akan bisa menemuinya lagi. Tetapi aku hanya mau dia hidup.
“ Tuhan, aku mau dia hidup. Tak apalah kalau kelak aku tak pernah diijinkan untuk menghapus keringatnya” Desisku lirih. Air mataku luruh tak bisa ku hentikan. Cairan dari tubuhnya menggenangi jalanan, matahari seolah merebus darahnya tepat di atas aspal hitam itu.
Bagaimana perasaanmu jika lelaki impian, orang yang sangat kamu cintai, tertembak di hadapanmu? Bagaimana perasaanmu jika sebenarnya dia tidak ada di hadapanmu, maka kamulah yang akan tertembak? Ataukah memang dia yang dituju oleh sang penembak? Bagaimana pula bila kau melihat aliran darah itu mengucur begitu deras, sebelum sempat mengucapkan perasaanmu padanya? Aliran darahnya membasahi seluruh jaket alamamaternya, aku bergegas memeluknya, mendengar rintihannya. Seumur hidup aku tak pernah mendengar dia mengeluh sedikitpun tentang kehidupannya, kecuali tentang politik. Baru kali ini aku bisa mendengar dia merintih, mengeluh, nafasnya begitu berat. Mengeluh tentang dirinya sendiri, tentang sakit yang mungkin tidak terperi lagi. Aku tak melihat lingkaran berapi-api itu lagi, dia menutup matanya mungkin karena terlalu perih luka itu. Dan aku tak tega melihat semua itu. Aku ingin sebagian lukanya ditransfer padaku agar dia tak merasa sedemikian pedih.