Mohon tunggu...
Nurimania Purnama
Nurimania Purnama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Aku biasa dipanggil aim, hobi membaca novel roman, kuliner dan tidur. Bercita-cita menjadi penulis/cerpenis dan guru/dosen

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Sastra dan Penindasan

6 Oktober 2023   09:37 Diperbarui: 6 Oktober 2023   09:54 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul: Saman

Penulis: Ayu Utami

Penerbit: PT Grafika Mardi Yuana

Cetakan: ke-37, Maret 2023

Tebal: X +206 halaman

ISBN: 978-602-424-399-9

Peresensi: Nur Imaniyah Purnama (Mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo)

Berbicara tentang sastra tentunya tidak bisa lepas dari realita masyarakat. Seperti dalam teori mimesis Plato yang berpandangan bahwa sastra merupakan bentuk tiruan alam atau kehidupan manusia. Sebuah kehidupan terdapat berbagai masalah sosial masyarakat. Masalah sosial yang begitu kompleks dapat menimbulkan ancaman bagi keberlangsungan hidup. Salah satu masalah sosial yang sangat vital yaitu kasus penindasan. Penindasan dalam kehidupan sehari hari sangat lazim terjadi, akan tetapi dalam dunia sastra masih ganjil untuk diterima. Lalu bagaimana gambaran penindasan yang tersaji dalam karya sastra?

Karya sastra terdahulu yang menggambarkan penindasan dalam alur kisahnya adalah Saman. Ayu Utami dalam novel Saman, mengisahkan suatu perbuatan besar dalam mengatasi problematika kemanusiaan dan keadilan yang terjadi pada masa orde baru, tepatnya di desa Prabumulih tahun 1983. Pengarang mengisahkan penindasan terjadi di tempat pastor bernama Wisanggeni. Peran tokoh Wisanggeni dalam novel tersebut tidak lain melayani umatnya, seperti: membangun pembangkit listrik mini dan mendatangkan pupuk dari kota. Sementara itu pada tahun 1993 bertempat di Lautan Cina Selatan. Perempuan yang lahir di Bogor Jawa Barat itu mengisahkan penindasan pada pekerja perusahaan minyak yang mendapat konsensi menggali di perairan kepulauan Anambas.

Melalui alur maju mundur, pengarang bercerita pada fragmen waktu tahun 1983. Sub bab "1983, Dia Belum Memakai Nama Itu: Saman" berkisah pemberontakan terjadi saat karyawan perusahaan berusaha menghancurkan kebun karet yang berada di Lubukrantau. Mereka ingin mengambil lahan warga yang tidak berdaya untuk dijadikan kebun sawit. Bahkan dengan kekejiannya mereka melakukan tindakan tidak senonoh (pemerkosaan) kepada gadis desa yang berkebutuhan khusus. "Anson yakin bahwa pemerkosaan itu adalah salah satu bentuk terror dari orang-orang yang hendak merebut lahan itu. Orang itu sengaja melakukannya agar kita menyerahkan kebun." (hal. 91).

Sementara, pada Februari 1993 di Lautan Cina Selatan. Pengarang mengisahkan penindasan yang dialami Hasyim. Saat dengan terpaksa ia harus masuk dan menjalankan alat ke liang sumur tempat minyak bumi terjebak dengan keadaan tidak stabil dan memiliki resiko cukup tinggi hingga menghilangkan nyawanya. "Sekarang kamu yang in charge disini. Run alat itu! Kalau tidak, Seismoclypse terpaksa bayar ganti rugi." (hal.15)

Salah satu realitas sosial yang menarik adalah peristiwa yang dialami tokoh berkebutuhan khusus tersebut sudah sangat lazim terjadi di masyarakat. Begitu banyak penguasa atau pimpinan yang menjadikan kekuasaan sebagai ajang penindasan bagi kaum yang lebih rendah. Peristiwa penindasan yang dialami masyarakat Lubukrantau dan pekerja Sismoclypse disuguhkan Ayu Utami lengkap dengan nilai-nilai yang bisa mendatangkan kesadaran manusia. Khususnya kesadaran tentang pentingnya memahami, menjalankan, mengelola dan penafsiran kekuasaan dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahaman akan hal ini dapat menghadirkan kesadaran bagi tiap-tiap pemimpin atau penguasa.

Sesungguhnya, penindasan yang digambarkan Ayu Utami adalah potret fenomena penindasan dalam kehidupan nyata. Jika novel itu ditulis 1998 maka artinya beragam peristiwa penidasan tersebut sudah terjadi sejak masa itu. Berbagai pertanyaan terus membekap dipikiran. Mengapa penindasan itu kerap terjadi? Dan kenapa orang yang berkuasa terus saja benar, meskipun kelakuannya berbanding terbalik? Apakah seburuk itu pandangannya terhadap orang lemah? Di mana perikemanusiaan yang dimiliki manusia?

Tema penindasan dalam novel tersebut mengingatkan saya terhadap novel-novel pengarang Indonesia yang juga menceritakan tentang kekuasaan. Sebutlah novel Mirah dari Banda karya Hanna Rambe, mengisahkan tentang formasi-formasi sosial dan kultural perempuan terjajah dengan kedudukannya sebagai babu, nyai, dan kuli di perkebunan. Dengan profesi yang dimiliki merekapun tak dapat lepas dari berbagai penindasan dan pelecehan seksual.

Tidak hanya penindasan dan kekerasan, dalam novel ini Ayu Utami juga membubuhi dengan romantisme pada setiap tokohnya yang diceritakan dengan liar, bahkan terkesan cabul. Tentang persahabatan diantara perempuan dan memunculkan tragedi seksualitas yang masih tabu pada masanya, hingga menimbulkan kontroversi. Seperti tokoh Laila, yang rela menunggu kekasihnya, Sihar yang sudah beristri dan berniat memberikan kehormatannya saat mereka bertemu di New York. Kemudian, tokoh Upi gadis berkebutuhan khusus yang tumbuh dewasa dengan hasrat yang tidak bisa dikontrol. "Dia suka merancap dengan pohon-pohon karet, menggosok-gosok selangkangnya, untungnya tanpa membuka celana." (hal. 73).

Menarik, menggoda, dan menimbulkan tanya besar bagi pembaca. Novel ini pada sampul belakang tertulis U 17+, bermaknakan novel Saman diperuntukkan pembaca di atas 17 tahun. Sebab, gaya bercerita juga beberapa segmen menyuguhkan adegan-adegan dewasa.  Pengemasan cerita yang lompat-lompat mendorong pembaca terhadap ingatan-ingatan tentang beberapa peristiwa yang diceritakan secara kreatif dan tidak monoton. Karenanya, membaca novel ini harus runtut supaya bisa merasakan sensasi yang sangat luar biasa melalui alur ciptaan perempuan kelahiran, 21 November 1968 itu.

Novel ini pernah memenangi sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel yang dianggap oleh para kritikus sebagai pemberi warna baru dalam sastra Indonesia. Sebagaimana ungkapan Sapardi Djoko Damono. Dalam endorsement novel tersebut, Sapardi mengatakan "Dahsyat... memamerkan teknit komposisi yang-sepanjang pengetahuan saya-belum pernah dicoba pengarang lain di Indonesia, bahkan mungkin di negeri lain"

Novel bersampul motif bunga dengan dasaran gelap menggambarkan makna batin atau pengalaman wisanggeni. Hanya saja novel tidak memiliki daftar isi, sehingga menjadi kelemahan pengemasan buku dan pembaca kesulitan mencari halaman buku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun