Mohon tunggu...
Nurimania Purnama
Nurimania Purnama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Aku biasa dipanggil aim, hobi membaca novel roman, kuliner dan tidur. Bercita-cita menjadi penulis/cerpenis dan guru/dosen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mentari

24 September 2023   20:24 Diperbarui: 24 September 2023   20:35 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Engkaulah cahaya dalam kehidupan yang selalu memberikan kasih sayang di kala aku merasa kesepian. Engkau hadir bagaikan bidadari yang selalu memberi kekuatan saat aku diremehkan. Kasih sayangmu yang membuatku tumbuh menjadi pribadi yang sangat luar biasa.

Cahaya mentari mengintip di balik jendela, sayup-sayup kudengar teriakan ibu memanggi, dengan nyawa yang masih di ujung tanduk kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi. Kutatap penampilanku di pantulan cermin, aku tersenyum melihat pantulan tubuhku. Cantik, itulah kata-kata yang sering kali aku ucapkan sebelum berangkat ke sekolah.

Di sekolah tidak ada yang berubah, semua masih tetap sama. Namun entah kenapa aku selalu merasa bahagia setiap kali kuinjakkan kakiku di gerbang sekolah, banyak anak yang mengira aku tidak normal, namun aku tidak pernah merespon setiap ejekan yang mereka lontarkan padaku.

"San dicariin emak-emak di luar," kata toni menunjuk kearah gerbang sekolah

Kupercepat langkahku menuju kerumunan di depan gerbang sekolah, kuterobos kerumunan itu hingga kini kuberada di tengah-tengah kerumunan bersama wanita sebaya yang sedang menjejerkan kuenya sambil menawarkan pada anak-anak. Ada rasa sesak meliat ibuku yang kini sedang mengusap keringat dikeningnya, ingin rasanya kuambil alih pekerjaannya, namun hal itu hanya akan mengundang kemarahan ibuku. Satu pesan yang selalu aku ingat dan menjadi penyemangatku. "Kamu harus belajar yang rajin, biar suatu saat kamu bisa membawa ibu jalan-jalan naik mobil. Jangan pernah menyerah, kejar semua yang kamu impikan, jangan sampek kamu kayak ibumu yang tidak berguna ini." Mengingatnya saja rasa semangatku sudah menggebu, apalagi mendengarkan langsung dari ibu.

Setiap langkah kujalani, setiap hambatan kuhadapi, dan setiap tantangan pasti kutakluki. Rasa pilu sering menyergap di lubuk hatiku, keirian semakin menggebu. Kenapa hidupku tidak seperti mereka? rasa sesak semakin menyelimuti dadaku. Bohong jika aku bilang tidak mau hidup enak seperti teman-temanku! terkadang dalam kesunyian kuselalu bertanya-tanya, kapan aku bisa seperti teman-temanku yang setiap liburannya pulang pergi naik pesawat, jangankan naik pesawat naik bis aja setahun sekali. pernah sekali aku protes tentang takdirku yang selalu tidak beruntung dan saat itu juga ibu memberiku nasehat.

"Tidak semua yang kamu lihat enak itu bakalan enak beneran, ingat nak di dunia ini semuanya itu tipu muslihat, jika kamu tidak pandai mengahadapinya maka kamu akan celaka, syukuri dan nikmati apa yang kamu punya, jangan pernah melirik milik orang lain, bahagialah dengan apa yang kamu miliki, jangan pernah kamu membandingkan nasipmu dangan orang lain, karena diluar sana masih banyak orang yang lebih kesulitan dari pada kita."

Seperti tertampar petir, seketika itu juga hatiku terasa damai, setiap kata yang ibuku bilang seakan mampu menumbuhkan rasa semangatku. Aku tersenyum melihat ibuku yang kini sedang menyiapkan kue untuk jualannya di esok hari.

***

Burung-burung terbang menembus cakrawala, rumput hijau melambai seakan memberi semangat baru bagiku. Kulangkahkan kakiku dijalan setapak sambil bersenandung ria, kuanggukkan kepala disaat berpapasan dengan orang desa.

Banyak bisikan yang sering kali aku dengar tentang keluargaku, namun sebisa mungkin kututup telinga dan kuanggap bisikan itu sebagai salah satu penyemangatku disaat aku letih menghadapi ujian di dunia ini.

"Sandrina, kamu tidak malu apa, punya ibu penjual kue kayak dia?" kata dian sambil menunjuk kearah ibu

 Kuhanya tersenyum mendengar pertanyaan itu, buat apa aku malu? Banyang-bayang masalalu seketika hinggap di ingatanku. Saat itu aku masih menduduki bangku sekolah dasar. Disaat para temanku dijemput menggunakan motor aku malah dijemput menggunakan sepeda, waktu itu aku marah pada ibuku, namun dengan kesabaran yang tiada batasnya, ibuku memeluk dan mengecup keningku.

"Sayang, maafin ibu nak, mungkin Sandrina malu memiliki ibu seorang penjual kue, tapi ibu akan membuktikan pada semuanya, kalau ibu bisa menjadi ibu yang berguna kelak bagi Sandrina, dengan sekuat tenaga akan ibu perjuangkan Pendidikan Sandrina sampai Sandrina menjadi orang sukses yang bisa berguna bagi orang lain. Ingat ya nak, jika suatu hari nanti Sandrina menjadi orang terpandang jangan pernah sombong, kalau bisa Sandrina bantu mereka. Berjanjilah pada ibu, untuk selalu menjadi orang yang rendah hati," Sandrina kecil hanya bisa mengangguk dalam pelukan ibunya.

Kulihat wajah tenang ibu saat tertidur, rasa bahagia yang kini kurasakan. Aku bersyukur memiliki ibu yang senatiasa memberikan pelajaran-pelajaran penting tentang kehidupan ini. Setetes air mata membasahi pipiku dikala aku melihat kerutan di wajah ibuku. Bisakah aku membuat ibuku bahagia? bisakah aku mengwujudkan semua impian ibu? aku takut sama waktu yang berjalan begitu cepat.

***

Cahaya mentari jatuh sempurna di wajahku, kumenggeliak di balut selimut hello kitty yang menjadi partner tidurku, kulirik jendela kamarku, disana sudah terlihat ibuku yang tengah menjemur cucian. Dengan jalan gontai kumenuju kamar mandi.

Satu jam didepan cermin, setelah merasa semua sempurna kuberjalan menuju ibuku yang sedang membungkusi kue-kue kering dan basah.

"Bu sandrina bantuin jualan ya" kataku sambil membantu ibu memasukkan kue kedalam keranjang

"Di luar panas nak, udah kamu dirumah aja" ucap ibu sambil menutup wadah kue yang sudah penuh

"Sandrina males dirumah" ungkapku seraya tersenyum manis kearah ibu

Dengan senyuman handalku, akhirnya ibu memberiku kesempatan menjual kue. Awal-awal memang sangat menantang bagiku. Banyak tantapan tetangga yang tidak sedap dipandang, namun aku tidak punya waktu meladeni mereka. Kutebar senyum disaat semua orang melihatku dengan kenehan.

Satu jam berjualan kue ternyata tidak semudah yang aku bayangkan, kupandangi kue-kue yang belum laku. Rasa putus asa mulai hinggap dihatiku. Seketika aku mengingat wajah ibuku yang sedang berada di teras rumah dengan semangat menggebu yang selalu beliau pancarkan.

Diperjalanan menuju rumahnya Sandrina bertemu dengan teman sekelasnya, dia tertawa melihat Sandrina yang sedang membawa wadah kue.

"Sandrina ngapain bawa itu?" pertanyaan yang sangat mengejek, Sandrina terus berjalan tak menghiraukan apa yang dia katakan.

"Anak penjual kue aja bangga" sudah cukup sandrina bersabar, ia berbalik melihat temannya, dengan tangan tergepal Sandrina melepas nampan kuenya

"Tidak usah bawa-bawa pekerjaan ibuku, bagaimanapun pekerjaannya aku tidak pernah malu mempunyai ibu sepertinya, kamu boleh mengijekku tapi jangan pekerjaan ibuku. Karna kamu belum pernah merasakan apa yang ibu dan aku rasakan"

Dengan langkah tergesa Sandrina meninggalkan temannya itu. Setibanya dirumah Sandrina menangis didekapan ibunya,

"Kamu kenapa nak?" tanya ibunya sembari mengelus kepala sandrina

"Ibu, kenapa dunia ini kejam?"

"Dunia tidak kejam, yang kejam itu yang tinggal didunia. Jangan pernah sandrina mendengarkan ucapan orang yang tidak bermutu bagi masa depan sandrina karena itu hanya akan membuat sandrina terpuruk"

Setelah mendengar kata-kata dari ibunya sandrina merasakan kedamaian dihatinya, dengan segera ia mengecup kening ibunya

"Terimakasih ya bu, udah mau mengajarkan sandrina tentang banyak hal"

"Sudah tugas ibu nak menjadi cermin bagi Sandrina, ibu tidak mau Sandrina hidup seperti ibu, ibu tidak mau melihat Sandrina terpuruk dikemudian hari. Tetap semangat ya sayang, jalani semuanya dengan ke ikhlasan jangan pernah menyerah dalam menghadapi rintangan hidup ini"

Sandrina tersenyum memeluk ibunya, sudah lengkap kebahagiaan yang Sandrina miliki. Sandrina selalu merasa bangga pada ibunya meskipun tanpa didampingi seorang suami ia selalu berjuang demi masa depan hidupnya yaitu Sandrina.

"Terimaksih tuhan sudah menitipkan Sandrina pada sosok yang sangat luar biasa. I Love You ibu, kau adalah lentera cintaku" ungkapku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun