"Sandrina, kamu tidak malu apa, punya ibu penjual kue kayak dia?" kata dian sambil menunjuk kearah ibu
 Kuhanya tersenyum mendengar pertanyaan itu, buat apa aku malu? Banyang-bayang masalalu seketika hinggap di ingatanku. Saat itu aku masih menduduki bangku sekolah dasar. Disaat para temanku dijemput menggunakan motor aku malah dijemput menggunakan sepeda, waktu itu aku marah pada ibuku, namun dengan kesabaran yang tiada batasnya, ibuku memeluk dan mengecup keningku.
"Sayang, maafin ibu nak, mungkin Sandrina malu memiliki ibu seorang penjual kue, tapi ibu akan membuktikan pada semuanya, kalau ibu bisa menjadi ibu yang berguna kelak bagi Sandrina, dengan sekuat tenaga akan ibu perjuangkan Pendidikan Sandrina sampai Sandrina menjadi orang sukses yang bisa berguna bagi orang lain. Ingat ya nak, jika suatu hari nanti Sandrina menjadi orang terpandang jangan pernah sombong, kalau bisa Sandrina bantu mereka. Berjanjilah pada ibu, untuk selalu menjadi orang yang rendah hati," Sandrina kecil hanya bisa mengangguk dalam pelukan ibunya.
Kulihat wajah tenang ibu saat tertidur, rasa bahagia yang kini kurasakan. Aku bersyukur memiliki ibu yang senatiasa memberikan pelajaran-pelajaran penting tentang kehidupan ini. Setetes air mata membasahi pipiku dikala aku melihat kerutan di wajah ibuku. Bisakah aku membuat ibuku bahagia? bisakah aku mengwujudkan semua impian ibu? aku takut sama waktu yang berjalan begitu cepat.
***
Cahaya mentari jatuh sempurna di wajahku, kumenggeliak di balut selimut hello kitty yang menjadi partner tidurku, kulirik jendela kamarku, disana sudah terlihat ibuku yang tengah menjemur cucian. Dengan jalan gontai kumenuju kamar mandi.
Satu jam didepan cermin, setelah merasa semua sempurna kuberjalan menuju ibuku yang sedang membungkusi kue-kue kering dan basah.
"Bu sandrina bantuin jualan ya" kataku sambil membantu ibu memasukkan kue kedalam keranjang
"Di luar panas nak, udah kamu dirumah aja" ucap ibu sambil menutup wadah kue yang sudah penuh
"Sandrina males dirumah" ungkapku seraya tersenyum manis kearah ibu
Dengan senyuman handalku, akhirnya ibu memberiku kesempatan menjual kue. Awal-awal memang sangat menantang bagiku. Banyak tantapan tetangga yang tidak sedap dipandang, namun aku tidak punya waktu meladeni mereka. Kutebar senyum disaat semua orang melihatku dengan kenehan.