Mohon tunggu...
Nuril Komari
Nuril Komari Mohon Tunggu... -

wong ndeso yang mendambakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kok Bisanya Bilang Jokowi Tak Amanah

25 Agustus 2012   04:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:21 3360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13458691921110802615

[caption id="attachment_202041" align="aligncenter" width="500" caption="Jokowi Membaur Bersama Rakyat (sumber: http://media.viva.co.id)"][/caption] Setelah ragu di antara dua pilihan, akhirnya PKS menjatuhkan pilihan dukungan kepada Foke. Alasannya, karena Foke dipandang lebih amanah, sanggup mengemban jabatan sampai 2017, sementara Jokowi diragukan komitmennya mampu bertahan hingga 2017. Keraguan PKS didasarkan pada rekam jejak Jokowi yang berani meninggalkan tugasnya sebagai Walikota Solo untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta, di saat usia pemerintahannya (periode kedua 2010-2015) baru berumur dua tahun.

Yang menjadi pertanyaan saya, kalau PKS memandang pencalonan Jokowi merupakan bentuk ketidak-amanahan, lantas kenapa dari awal PKS tidak menolak. Kenapa PKS masih memberi kesempatan Jokowi untuk bertemu. Kenapa Jokowi masih diharapkan datang ke Sekretariat PKS pada pertemuan pertama, kedua dan ketiga, sebelum PKS mengambil keputusan. Ada apa?

Di tulisan saya sebelumnya, Orang-orang PKS Juga Tidak Amanah? saya sudah membeberkan banyaknya kader PKS yang tidak amanah. Mereka menyuruh orang lain amanah tapi mereka sendiri tidak amanah. Sebagai partai yang mengklaim sebagai Partai Islam dan dihuni banyak aktivis dakwah, lupakah mereka dengan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah (Ayat 44): “Mengapa kalian menyuruh orang lain mengerjakan kebajikan tapi kalian melupakan diri sendiri, padahal kalian membaca kitab, maka tidakkah kalian berpikir?” (Dalam bahasa Jakarte, emang loe kagak mikir…)

Lupakah mereka dengan firman Allah dalam Surat Ash-Shof (Ayat 2-3): “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan.”

Kenapa Baru Sekarang Dipersoalkan?

Apa yang dilakukan Jokowi sesungguhnya bukan hal baru. Jauh sebelum itu, banyak pejabat yang sedang menjabat lalu mencalonkan diri untuk jabatan lain, yang sama-sama mengurus kepentingan rakyat, termasuk kader-kader PKS.

Kita masih ingat beberapa tahun lalu ada Gubernur yang sedang menjabat, memilih tawaran Presiden untuk menjadi Menteri. Gamawan Fauzi, misalnya, meninggalkan jabatan Gubernur Sumatra Barat untuk memilih menjadi Menteri Dalam Negeri. Fadel Muhammad meninggalkan jabatan Gubernur Gorontalo untuk memilih menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Dan masih banyak lagi gubernur yang lain.

Selain itu, banyak sekali anggota DPR / DPRD yang meninggalkan jabatan Wakil Rakyat untuk menjadi Menteri, Gubernur dan Bupati / Walikota.

Nah, kenapa PKS baru sekarang mempersoalkan pindahnya pejabat dari satu tanggung jawab ke tanggung jawab yang lain? Bukankah hal ini sudah berlangsung dari dulu, sejak PKS berdiri? Kenapa selama ini diam? Apakah karena faktor kepentingan?

Kalau yang dilakukan Jokowi dan pejabat-pejabat itu dianggap salah, kenapa PKS tidak mengusulkan kepada DPR supaya mengamandemen peraturan perundang-undangannya. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, acuan kita adalah Undang-Undang. Selama tidak ada pasal yang melarang Walikota untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur, maka tidak perlu diangkat menjadi persoalan.

Kita tidak bisa beralasan karena soal etika atau moral, sebab pemahaman ”baik atau tidak baik” tiap orang itu relatif, tidak sama. Sesuatu yang dianggap baik menurut PKS, belum tentu baik menurut PDI Perjuangan. Karena itu, rujukannya harus berbentuk peraturan perundang-undangan.

Apakah berhenti di tengah jalan melanggar sumpah jabatan? Mari kita lihat bunyi sumpah jabatannya:

“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa.”

Sumpah jabatan tidak membatasi kurun waktu tertentu. Artinya, selama menjabat, Kepala Daerah wajib menjunjung tinggi sumpahnya, tapi jika ia memilih berhenti karena permintaan sendiri maka sejak saat itu sumpah jabatan tidak mengikat lagi baginya.

Apakah berhenti di tengah jalan melanggar peraturan perundang-undangan. Coba kita lihat regulasinya, dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 29 Ayat (1) disebutkan: “Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah berhenti karena:

  • meninggal dunia;
  • permintaan sendiri;
  • diberhentikan.

Berarti, Jokowi sebagai Walikota Solo diberi hak oleh UU untuk berhenti atas permintaan sendiri.

Sampai saat ini, kita belum bisa menilai Jokowi karena pengusaha mebel itu masih menjabat Walikota Solo. Ia masih ngantor seperti biasa. Hanya pada hari libur saja ia berada di Jakarta.

Seandainya, andaikan, kalau saja nanti Jokowi memenangkan pemilukada putaran kedua 20 September 2012, tentu Jokowi harus mengundurkan diri dari jabatan Walikota Solo. Kalau tidak mundur, justru itu menyalahi perundang-undangan. Bagaimana mungkin satu orang bisa memimpin dua daerah berbeda dalam waktu bersamaan.

Nah, apakah itu yang dikehendaki PKS? Jokowi jika terpilih sebagai Gubernur DKI nanti, tetap menjabat Walikota Solo sebagai pertanda perilaku amanah?

Ke depan, supaya tidak ada lagi pejabat yang mencalonkan diri untuk jabatan lain, seperti dilakukan Jokowi, maka solusinya adalah diberlakukannya pemilihan umum secara serentak dan bersamaan untuk memilih anggota DPR/DPD/DPRD, Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota. Sehingga pejabat yang habis masa jabatannya di suatu daerah atau di tingkatan tertentu bisa maju mencalonkan di daerah dan tingkatan lain. Selama belum ada aturan yang mengatur itu, maka hukumnya boleh apa yang dilakukan Jokowi sekarang ini.

Dimana Ketidak-amanahan Jokowi?

Jokowi bukanlah tipe pemimpin yang ambisius. Menjadi pejabat publik bukanlah cita-citanya semasa kecil. Jangankan menjadi Gubernur, nyalon Walikota Solo saja bukanlah angan-angannya dari dulu. Jokowi tidak pernah menyalonkan diri, tidak pernah mengeluarkan uang untuk melamar partai-partai. Ia selalu dicalonkan dan diminta oleh rakyat, karena ia dipandang sebagai sosok orang yang bisa dipercaya, dalam bahasa agama disebut amanah.

Semua berawal dari kesuksesan Jokowi memimpin Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) Solo Raya. Teman-teman Jokowi di ASMINDO membujuk dan merayunya supaya mau mencalonkan diri sebagai walikota Solo 2005-2010.

Tidak mudah bagi Jokowi untuk menerima tawaran teman-temaannya itu. Ia sama sekali tak membayangkan masuk dunia politik dan memimpin Solo. Namun, ia juga merasa tertantang untuk bisa melakukan sesuatu terhadap kotanya sendirinya. Menurutnya, kalau mencalonkan diri sebagai walikota dengan tujuan hanya untuk memperoleh prestise dan uang, tentu menjadi pengusaha lebih banyak menghasilkan uang dibandingkan jadi walikota. Namun kalau memang memiliki visi dan pengabdian untuk masyarakat, jabatan walikota itu sangat strategis.

Jokowi merasa ”galau” dengan kepemimpinan walikota Solo sebelumnya yang dianggap tidak bisa mengatur kota dengan baik. Dari tahun ke tahun semakin tidak baik. Hotel tidak laku, kota semakin tidak teratur, semakin tidak rapi, di mana-mana ada PKL yang tidak diatur dengan baik.

Jokowi akhirnya mendaftar sebagai calon walikota Solo berpasangan dengan FX Hadi Rudyatmo dan diusung oleh PDI Perjuangan. Pasangan Jokowi Rudi berhasil memenangkan pilkada 2005 dengan perolehan suara37 %, mengalahkan 3 pasangan calon lainnya, termasuk pasangan incumbent.

Bagaimana kepemimpinan Jokowi di Solo? Saya yakin publik sudah banyak tahu apa yang dilakukan Insinyur alumnus UGM itu. Bisa dibaca di buku-buku tentang Jokowi dan berita-berita di internet. Dan, menurut saya, makna amanah itu dilihat dari sudut pandang kinerja selama menjabat.

Kalau Jokowi tidah amanah, kenapa Kota Solo bisa dinobatkan sebagai kota terbersih dari korupsi ke-3 versi Transparancy International Indonesia (TII) tahun 2010.

Kalau Jokowi tidah amanah, kenapa ia bisa terpilih dalam “10 Tokoh 2008” versi Majalah Tempo.

Kalau Jokowi tidah amanah, kenapa ia bisa memperoleh Bung Hatta Award 2010.

Kalau Jokowi tidah amanah, kenapa ia bisa mendapat MIPI Award 2011.

Kalau Jokowi tidah amanah, kenapa ia bisa dianugerahi sebagai Walikota Teladan versi Departemen Dalam Negeri tahun 2011.

Kalau Jokowi tidah amanah, kenapa ia bisa dinobatkan sebagai Tokoh Perubahan 2010 oleh Harian Republika.

Kalau Jokowi tidah amanah, kenapa ia mampu meraih kepercayaan rakyat Solo untuk kedua kalinya pada Pilwakot 2010 dengan perolehan 90,9 % suara.

Kalau Jokowi tidak amanah, kenapa ia bisa menerima Penghargaan e-Government Indonesia (PeGI) dari Kementerian Komunikasi dan Informasi tahun 2012.

Kalau Jokowi tidah amanah, kenapa ia bisa masuk ”Nominator” Kepala Daerah Dunia, oleh The City Mayors Foundation tahun ini.

Kalau Anda menjawab, ”Solo kan kotanya kecil”, maka kenapa penghargaan yang sama tidak diterima oleh walikota/bupati lainnya, yang kota/kabupatennya kecil seperti Solo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun