Mohon tunggu...
Nuri Ibadi Rahmania
Nuri Ibadi Rahmania Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pembusukan Dunia Pendidikan Indonesia: Mengupas Balik Gelar Raffi Ahmad

9 Desember 2024   09:00 Diperbarui: 9 Desember 2024   09:07 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bayangkan Anda menyalakan keran air dan menaruh sebuah wadah penampung air di bawah keran tersebut. Lalu, Anda meninggalkannya untuk mencari hiburan di rumah -- entah itu dengan tidur, bermain game, membeli barang yang tidak penting di toko online, atau hiburan lain-lainnya -- hingga melupakan waktu dan air keran terus-menerus mengalir. Wadah yang diletakkan di bawah keran tersebut tidak akan cukup untuk menampung air itu, sehingga air tersebut tumpah ke mana-mana. Jika dibiarkan cukup lama, air tersebut pun bisa menyebabkan wadah untuk hancur, dan rumah untuk banjir. Beginilah gambaran dunia pendidikan Indonesia -- dengan populasi terbanyak keempat di dunia dan pendidikan yang tidak cukup untuk menampung populasi tersebut, baik untuk rakyat yang sudah tua maupun yang masih muda.

Oleh karena itu, mendapat gelar pendidikan dan melalui proses untuk mendapat gelar tersebut di Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah. Namun, lucunya, dunia pendidikan Indonesia dianugerahi dua keajaiban pada hari Jumat, 27 September 2024 -- tidak oleh sebuah inovasi dari cendekiawan Indonesia, atau solusi yang tepat untuk mengatasi masalah pendidikan di Indonesia, melainkan oleh pemberian gelar kepada Raffi Ahmad oleh sebuah 'institusi' pendidikan tingkat internasional. Hal ini tentu menimbulkan kontroversi, mengingat Raffi Ahmad tidak diketahui memiliki jejak pendidikan yang menonjol maupun branding sebagai sosok intelektual.

Awal dari permasalahan ini dimulai saat Raffi Ahmad mengunggah sebuah postingan dalam akun Instagram-nya (@raffinagita1717). Di dalam unggahan tersebut, Raffi Ahmad menampakkan dirinya dipanggil untuk berdiri di atas panggung dan menerima gelar Honoris Causa. Gelar yang diterima oleh Raffi Ahmad berupa sertifikat penghargaan dari Universal Institute of Professional Management (UIPM) Thailand -- salah satu cabang dari UIPM UN ECOSOC -- dalam bidang Event Management dan Global Digital Development. Adapun gelar Honoris Causa sendiri adalah sebuah gelar yang diberikan kepada seseorang karena sebuah kontribusi atau pencapaian luar biasa tanpa mengharuskan seseorang tersebut untuk melalui pendidikan formal.

Di dalam caption unggahan tersebut di Instagram, Raffi Ahmad menyampaikan bahwa menerima gelar tersebut adalah bentuk kebanggaan karena dia sendiri telah "berkontribusi selama puluhan tahun" di dalam pengembangan industri hiburan di Indonesia. Dalam caption tersebut pula, Raffi Ahmad berterimakasih dan mendedikasikan pencapaiannya terhadap sosok-sosok dalam kehidupannya, mulai dari keluarga, mentor, sahabat, tim, dan seterusnya.

Pemberian gelar pendidikan dari sebuah institusi bukan sesuatu yang baru. Tahun 2022 lalu, Taylor Swift mendapat gelar doktor dari New York University (NYU) dalam bidang sastra. Namun, Taylor Swift sebelumnya terkenal dengan penulisan liriknya dan penggunaan majas (terlebih di dalam album Folklore dan Evermore), serta memiliki status sebagai selebriti tingkat internasional. Ketika kedua faktor ini diperhitungkan, maka masih terdapat justifikasi untuk memberikan gelar pendidikan kepada Taylor Swift dan oleh karena itu, hal tersebut tidak mengundang banyak kontroversi.

Selain itu, institusi pendidikan yang memberikan gelar terhadap Raffi Ahmad, yaitu UIPM Thailand, pun menimbulkan kebingungan bagi mereka yang masih memiliki akal yang cukup untuk berpikir kritis. Seorang pengguna X (Twitter) Indonesia yang tinggal di Bangkok, Niar Ibrahim Rose (@ImRoseWhoRU) melakukan investigasi terhadap lokasi UIPM di Thailand dengan alamat yang tertera di dalam website resminya, yakni Vibhavadi Rangsit 64 Yeak 3 Alley, Bangkok, Thailand. Namun, ketika mengunjungi alamat tersebut di Thailand, ditemukan bahwa tidak terdapat kampus di alamat tersebut; melainkan sebuah hotel dan hunian apartemen.

Dalam sebuah artikel yang dirilis oleh Kompas (22/10), Helena Pattirane, selaku Deputy of Legal Affirs of UIPM UN ECOSOC, menyatakakan bahwa, "Keberadaan UIPM dalam menjalankan pendidikan tinggi dengan format pendidikan tinggi distance education (pendidikan jarak jauh) dan menggunakan sistem pendidikan full 100 persen online learning, virtual campus atau non-real campus." Lantas, jika begitu, mengapa terdapat alamat yang tercantum dalam situs resmi 'universitas' tersebut untuk cabang-cabang UIPM di mancanegara? Jika semisal alamat-alamat tersebut hanyalah lokasi kantor operasional, sudah semestinya UIPM memberi keterangan tersebut di dalam situs resmi mereka.

Bukan hanya bentuk fisik kampus yang nihil, tetapi juga keberadaan UIPM dalam laman web resmi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Ketika mencari akreditasi UIPM dalam halaman 'Data Akreditasi', tidak ada data yang muncul, dan oleh karena itu integritas UIPM serta kualitas ajarannya pun tidak dapat dijamin oleh BAN-PT, sehingga semua gelar yang diberikan dari UIPM patut dicurigakan.

Bahkan di dalam artikel Kompas (22/10), Kemendikbudristek Indonesia, melalui Prof. Abdul Haris selaku Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Diktiristek), menyatakan bahwa gelar Raffi Ahmad tidak dapat diakui oleh Kemendikbudristek Indonesia karena UIPM sendiri tidak memiliki izin operasional untuk berdiri di Indonesia sesuai dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perguruan Tinggi.

Fakta bahwa sebuah 'kampus' seperti UIPM dapat hadir di Indonesia dan pemberian gelar dari pihak UIPM ke Raffi Ahmad adalah salah satu bukti nyata dari rusaknya dunia pendidikan Indonesia di antara berbagai bukti-bukti lainnya. Keberadaan sebuah 'institusi' seperti UIPM yang tidak jelas integritasnya serta pemberian gelar kepada Raffi Ahmad menjadi indikator bahwa di Indonesia, sistem pendidikan tidak dipantau dengan baik sehingga menunjukkan bahwa siapapun dapat mendirikan 'universitas' di Indonesia dan siapapun dapat menerima 'gelar pendidikan', karena UIPM sendiri tidak akan dapat berdiri di Indonesia jika Kemendikbudristek memantau universitas asing di Indonesia dengan baik. Walaupun semestinya tidak terjadi, setidaknya kejadian ini memberi kita satu kegunaan -- yakni membuka mata kita terhadap kurangnya penghormatan Indonesia terhadap pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun