Mohon tunggu...
Nurifah Hariani
Nurifah Hariani Mohon Tunggu... Guru - Guru yang suka membaca dan senang berkhayal

Guru di sebuah sekolah swata di kota Malang, sedang belajar menulis untuk mengeluarkan isi kepala, uneg-uneg juga khayalan

Selanjutnya

Tutup

Horor

Dimana Kakinya

9 Februari 2025   18:56 Diperbarui: 9 Februari 2025   18:56 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Buku Sumber : lib.umm.ac.id

Waktu istirahat tinggal beberapa menit lagi. Beberapa siswa yang telah selesai mengerjakan tugas sudah tak sabar untuk segera keluar. Yang belum selesai tampak gelisah, khawatir kehabisan waktu. Bau masakan menguar menggelitik hidung, karena kelas ini hanya selemparan batu dengan kantin.

Bel berbunyi dua kali. Bukan hanya anak-anak berseragam, para guru pun merindukan bunyi ini. Bagai sihir, suaranya mampu membelalakkan mata yang terkantuk, menyegarkan kepala yang penat karena berbagai rumus.

"Kapan hari terakhirnya, Pak?" tanya Fajar, murid paling ter- di kelas ini.

"Kenapa selalu menanyakan hari terakhir, Fajar?" Kupandangi wajah lesunya seperti baru bangun tidur. Dua kali tadi aku membangunkannya. Muridku ini punya keahlian khusus, bisa merem dengan santuy di tengah keramaian. Anak-anak mana bisa diam ketika berdiskusi. Mereka belajar mengemukakan pendapat sampai lupa caranya diam dan mendengarkan. Di saat seperti itu Fajar bisa bermimpi indah sampai membuat pulau abstrak di meja belajarnya. Akibatnya, beberapa tugas tidak bisa diselesaikannya. Dan selalu membuat pertanyaan yang sama setiap ditagih.

Melihat Fajar, berasa seperti bercermin, melihat diriku sendiri dalam versi anak smp. Bertahun yang lalu, semasa kuliah, aku pernah seperti Fajar. Bukan karena ngantukannya tapi pada kebiasaan suka menunda pekerjaan.

Bersama seorang teman yang bernama Teguh Priono yang lebih sering dipanggil Pring, kami penganut mahdzab yag sama, yaitu "ngaret" atau "deadliner" istilah kerennya. Kami selalu mengumpulkan tugas di hari terakhir karena mengandalkan "the power of deadline". Ada energi yang tiba-tiba muncul dan memberikan sensasi bekerja yang memacu adrenalin. Seperti pengalaman menaiki roller coaster, menakutkan sekaligus menggairahkan dan menjadi candu.

Teringat ketika mengikuti kuliah statistis. Ibu dosen yang cantik memberi tugas kuesioner untuk dikumpulkan dua minggu lagi. Sebenarnya aku ingin mengerjakannya secepat mungkin. Agar bisa konsultasi atau apalah dengan Bu Cantik.

"Dua minggu itu 24 jam kali 14 hari, lebih dari dari 20 ribu jam. Santai, Sam" kata Pring menolak ajakanku untuk memulai mengerjakan tugas.

Bodohnya diriku,terpedaya dengan bujukannya. Mau saja menunda satu pekerjaan dengan kesenangan semu. Sekedar ngopi, ngobrol, ngalor-ngidul yang gak jelas. Melupakan waktu yang tak sedetik pun dapat ditunda. Juga menipu diri sendiri seakan yakin ada "the power of kepepet" yang dapat menghasilkan maha karya yang luar biasa. Jauh lebih baik daripada mengerjakan dalam waktu yang panjang.

Ketika Kartika, teman sekelas yang paling rajin, minta diantar ke tempat fotocopy untuk menjiid tugasnya, baru aku tahu ternyata tugas dari Bu Cantik itu serius, tidak main-main. Lima puluh halaman kurang sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun