Pagi belum sepenuhnya usai. Beberapa menit lagi bel berbunyi dua kali, waktunya istirahat pertama. Teman-teman pasti berebut antri bakso dan mie di kantin. Â Kupastikan wajah Mijel akan ditekuk dua kali sampai giginya yang sering keluar garis itu makin tongos saja karena aku tidak jadi menraktirnya. Sama dengan Mikaela yang pasti mencariku karena aku sudah berjanji untuk membelikannya mie pedas sebagai bayaran contekan ulangan IPS kemarin.
Aku dan Slamet sebenarnya bukan anak nakal kami hanya tidak  bisa terlalu lama duduk di kelas. Bosan! Apalagi pelajaran PPKn yang muter-muter membicarakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Sungguh tidak berguna apalagi aku tidak pernah berminat menjadi anggota DPR.  Pelajaran IPA  pun aku tak suka. Apa gunanya mengukur garis sejajar? Apalagi menghitung gaya. Maka ketika Slamet mengajakku membolos dengan senang hati dan lapang dada aku menerimanya.  Seharian ini  kami tidak akan mendengar suara Bu Guru yang mengomentari hal-hal remeh seperti baju seragam yang tidak dimasukkan ke dalam celana, topi yang dipake miring, tulisan huruf  kecil dan huruf besar dan yang semacamnya.  Slamet pun senang karena gencatan senjata dengan Calista berhasil. Ketua kelas itu suka membentak dengan suaranya yang mencapai delapan oktaf  jika teman sebangkuku itu sering bolak-balik ijin ke toilet .  Kami bisa bersenang-senang  dengan  bermain hp  sepuasnya dan bobok siang tanpa gangguan.
Membayangkan wajah-wajah lucu teman-temanku  membuatku tertawa terbahak sampai Slamet membentakku. "Jangan berisik, bisa bangun mereka!" katanya sambil menunjuk barisan batu-batu nisan di depan. Kami sedang berada di teras rumah penjaga makam, Mbah Wiro. Ini kali kedua kami berada di sini saat jam pelajaran. Jika kalian pengin membolos, cobalah datang ke sini. Dijamin seratus persen, tidak ada yang akan menemukanmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H