Mohon tunggu...
Nurifah Hariani
Nurifah Hariani Mohon Tunggu... Guru - Guru yang suka membaca dan senang berkhayal

Guru di sebuah sekolah swata di kota Malang, sedang belajar menulis untuk mengeluarkan isi kepala, uneg-uneg juga khayalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan Pagi Hari

9 Januari 2025   19:45 Diperbarui: 9 Januari 2025   19:45 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan turun lagi pagi ini. Pasar pagi menjadi sepi. Beberapa pedagang beranjak pergi. Aku duduk di bawah payung mengawasi beberapa sepeda motor di tempat parkir. Di sampingku ada Bambang yang wajahnya kusut, pacarnya minta dilamar sedangkan pendapatannya semakin tak menentu. Tak henti-hentinya ia menyesali diri yang tidak menamatkan sekolah, padahal cita-citanya menjadi pegawai negeri yang akan mendapatkan pensiun di usia tua nanti. Sama denganku yang lebih suka mengejar layangan daripada belajar mengejar cita-cita. Nasib melempar kami ke ujung pasar pagi sebagai juru parkir.

Kami sedang berpikir untuk beralih profesi. Kemarin Bambang mengatakan ingin seperti Koh Ajong yang punya toko grosir, tetapi barusan ia ingin menjadi OB saja yang seragamnya keren, bisa memikat perempuan. Aku sudah pernah jadi pegawai toko yang sering 'nomboki' karena barang hilang. Pernah juga menjadi kuli bangunan yang capeknya membuat remuk seluruh tulang. Sekarang aku ingin seperti Mbah Mo.

Bambang terpingkal-pingkal menertawakanku, ia menunjuk seorang lelaki yang terseok-seok menuntun sepeda dalam hujan. Mbah Mo selalu datang kesiangan di pasar pagi, kakinya tak kuat lagi mengayuh sepeda, jadi dituntun saja sepeda yang sudah berkarat itu. Ia berangkat selepas Subuh, mengambil tempe di juragan lalu membawanya ke pasar ini. Jarak 5 km ditempuhnya lebih dari satu jam. Aktivitas itu sudah dilakoninya sejak masih muda sampai istrinya meninggal dan ketiga anaknya sudah berkeluarga. Pelanggan tempenya banyak, beberapa orang rela menunggunya lewat, di pasar ini pun banyak yang menantinya. Sebenarnya aku malu kepada Mbah Mo karena setiap hari sebelum pulang ia selalu membersihkan toilet di dekat mushola kecil di pojokan pasar sambil memberi makan kucing-kucing liar yang seolah menunggunya. Suatu hari ia kehilangan tas pinggang hitam lusuh yang dicantolkannya di balik pintu musholla. Aku dan Bambang membantu mencari, ternyata nihil. Ia terduduk lemas, matanya berembun lalu mencari-cari sesuatu dari kantong celana."Alhamdulillah, masih ada Le, ini dibagi dua ya buat beli sarapan," katanya sambil mengulurkan selembar uang berwarna hijau kepadaku. Mataku turut berembun teringat tas pinggang hitam lusuh yang ada di bawah jok sepeda motor di depan musholla.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun