Mohon tunggu...
Nurifah Hariani
Nurifah Hariani Mohon Tunggu... Guru - Guru yang suka membaca dan senang berkhayal

Guru di sebuah sekolah swata di kota Malang, sedang belajar menulis untuk mengeluarkan isi kepala, uneg-uneg juga khayalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hukuman

7 Januari 2025   14:40 Diperbarui: 7 Januari 2025   14:40 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Theeett ! Theeett! Aku terlonjak. Itu suara bel pertanda waktu istirahat tiba. Slamet menarik tanganku  mengajak mengintip dari jendela perpustakaan di lantai dua. Tampak keriuhan di bawah sana, teman-teman berlarian riang, ada yang menuju  lapangan , banyak yang menuju kantin. Duh, perutku meronta, terbayang di benakku aneka makanan di kantin, ada bakso , mie ndower, es potong dan aneka gorengan.  Slamet berdecak, tangannya mengepal, karena  Munir di bawah sana sedang mengacungkan sate cilok sambil tertawa mengejek. Aku terprovokasi sehingga  mengiyakan saja  ketika Slamet  mengajak  turun. Tak kulihat Pak Anjar, penjaga perpustakaan di mejanya. Waktu istirahat memang tidak bisa dilewatkan begitu saja, toh tugasku  kurang sedikit, bisa kuteruskan nanti.

Kami berdua sedang menjalani hukuman,  karena tidak mengerjakan tugas PPKn, menuliskan nama propinsi dan ibukota di Indonesia.  Bu Nur menyuruhku menulis sebanyak empat halaman folio karena aku hanya menuliskan 20  propinsi.  Sedangkan Slamet disuruhnya menulis sepuluh kali karena tidak mengerjakan sama sekali.  Sebenarnya kami bukan anak nakal hanya males saja  yang  penginnya rebahan goler-goleran karena capek main game . Syumpah sesekali saja aku melihat yuotube, aku pun  tidak begitu suka  tik tok an. Kalau Slamet, jangan ditanya, seumur hidupnya mulai melek mata sampai mau merem lagi tik tok an terus, paling berhenti ketika di wa ibunya. Jadilah kami kekurangan waktu apalagi untuk mengerjakan tugas sekolah. Kami nggak mau nambah dosa karena tidak bisa membantu orang tua di rumah. Lagipula seringkali kami dibikin  susah  dengan mengerjakan tugas.. Bapak ibu guru itu senang  sekali mempersulit perkara yang sebenarnya mudah.  Coba pikirkan, apa gunanya menghapal nama propinsi dan ibukotanya? Supaya tidak tersesat? Ada Google Map yang bisa menunjukkan mana jalan yang lurus 'kan.

"Mie ndower level sepuluh dobel, banyakin kuahnya Buk,"ucap Slamet. Bu Kantin hanya menengok sebentar lalu melanjutkan melayani anak-anak yang lain. Teman sebangkuku ini ususnya panjang maka bila pesan makanan selalu dobel.  Aku pesan bakso saja yang banyak kuahnya biar tambah kenyang. Tapi oh tapi sampai waktu istirahat hampir habis pesanan kami belum datang juga. Sampai anak-anak yang lain masuk kelas karena bel masuk sudah berbunyi. "Buk!" teriak Slamet tidak sabar. "Eh, anu tadi  Bu Nur berpesan, selesaikan dulu tugas kalian, baru boleh makan di sini," jawab Bu Kantin dengan senyum yang tampak mengejek. Belum sempat kami mendebat, tampak Bu Nur berdiri di depan kami, tangannya terlipat sementara matanya tajam seolah akan menguliti kami hidup-hidup. Aku menarik tangan Slamet, kembali ke perpustakaan. "Apa kubilang, seberat apapun tugas itu akan terasa ringan jika tidak dikerjakan," gerutu Slamet yang tugasnya masih lima lembar lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun