Mohon tunggu...
Nurifah Hariani
Nurifah Hariani Mohon Tunggu... Guru - Guru yang suka membaca dan senang berkhayal

Guru di sebuah sekolah swata di kota Malang, sedang belajar menulis untuk mengeluarkan isi kepala, uneg-uneg juga khayalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Modal Modus

4 Januari 2025   17:13 Diperbarui: 4 Januari 2025   17:13 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hidupku terpuruk. Usahaku bangkrut. Utangku menumpuk. Untungnya  Marleeya yang tidak bekerja setelah menikah, mau membantu. Ia membuka kedai di ujung gang buntu. Macam-macam yang dijual istriku itu. Ada bakso tulang iga sapi , mie pangsit yang level kepedasannya bisa diatur, beraneka  minuman dan macam-macam susu. Alhamdulillah, kedai  ramai selalu. Marleeya senang meski berpeluh. Ia tak lagi mengeluhkan uang belanja dariku.  Arista dan Azara, kedua anak kami . tak lagi menunggak SPP apalagi sekedar LKS dan buku-buku. Agan, si bungsu sudah terpenuhi pampers dan susunya. Hanya Saleeha, ibu mertua  yang masih menaruh  curiga kepadaku. 

Aku sungguh beruntung beristri Marleeya. Ia benar-benar bisa diandalkan. Ketika utang sudah jatuh tempo . meski berat hati, ia merelakan mobil pickup dijual. Mobil  yang biasanya kugunakan untuk  berjualan barang-barang bekas hadiah dari orang tuanya , ketika kami masih pengantin baru. Pickup berwarna abu-abu itu sering jadi penolong ketika aku kesulitan uang tunai karena bisa digadaikan. Cicilan terakhirnya baru lunas kemarin. Tentu saja Marleeya yang melunasi.   Bagaimana lagi? Aku sudah berusaha sekuat tenaga sampai pergi pagi pulang malam  bahkan sering tidak pulang beberapa hari. Usahaku masih buntu.

Siang itu seorang teman menghubungiku lewat telepon, ia menawarkan kerjasama di luar pulau. Janjinya rumah sudah disediakan, keuntungan tak akan mengecewakan, aku hanya perlu menyiapkan ongkos pesawat dan uang modal untuk tiga bulan ke depan. Marleeya menggigit bibir saat melepaskan sertifikat tanah untuk digadaikan."Kesempatan tak akan datang dua kali," kataku meyakinkannya. Aku berjanji kepadanya, setelah ini ia tak perlu membuka kedai, hidup kami akan terjamin dengan gajiku yang akan ditransfer setiap awal bulan.  Tetapi begitulah perempuan, Marleeya terisak ketika mengantarku di bandara. Sementara di pesawat seorang perempuan sintal telah menungguku. Namanya  Dewi, kami sudah sangat dekat setahun terakhir ini. Penampilannya sangat berbeda dengan Marleeya,  di leher dan tangannya bergantungan perhiasan emas  pemberianku, hasil dari penjualan mobil pickup. Aku yakin keberhasilan suatu usaha itu memerlukan modal dan modus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun