Udara dingin, gerimis yang tak kunjung reda membuat asma dalam tubuhku hampir menggila. Kutekan dadaku di sela-sela batuk yang sesekali muncul. Aku duduk memeluk lutut mengusir dingin dengan berselimut sarung yang kupinjam dari Slamet. Temanku itu sedang membuat bulatan-bulatan asap dari rokok tingwe buatannya sendiri. Usianya sudah hampir kepala lima tetapi masih juga belum menikah. Ia terlalu pemilih, seleranya perempuan seperti Nikita Willy meskipun usahanya hanya pertamini di pinggir jalan.
Sudah tiga hari dua malam aku di sini, menumpang tidur sambil menunggu baju kering. Sudah tahu 'kan ceritanya, aku diusir oleh Sri. Istriku itu tega mengeluarkanku dari rumah hanya membawa baju di badan karena ketahuan selingkuh. Hidup sungguh tidak adil, Slamet bisa hidup tanpa seorang istri, sedangkan aku belum merasa cukup dengan satu perempuan. Kupikir bisa jadi inilah penyebab Slamet tetap melarat. Bukankah suksesnya lelaki itu dimulai dari doa istrinya? Semakin banyak istri semakin banyak pula doanya
.
"Minta maaflah kau kepada si Sri, perempuan sebaik itu kau sia-siakan. Macam mana selingkuhanmu itu? Perempuan baik tidak akan merebut pria beristri." Slamet mengomel untuk yang kesekian kalinya. Ucapannya sungguh tak berdasar. Lolitalita tidak pernah merebutku dari Sri. Aku hanya kasihan kepada adik perempuan Slamet itu dan mencoba mengentasnya dari tempat nista.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H