Mamaku, entah bagaimana aku memberi julukan kepadanya. Ia layaknya sebuah novel berjilid-jilid yang tak kunjung habis kubaca. Kisahnya lebih dramatis daripada sinetron di stasiun ikan terbang. Kelebihannya adalah bisa menghilang dan muncul tiba-tiba. Â Dan selalu di saat yang tepat.
Siang itu udara sangat panas, sambil menunggu adzan Dhuhur, aku leyeh-leyeh di depan televisi, ditemani kipas angin yang setia meniupkan angin sepoi-sepoi dan setoples krupuk bawang. Duh, nikmat mana yang bisa kau dustakan wahai manusia?
Tak disangka, tak dinyana, pas aku merem melek menikmati angin buatan, tiba-tiba ....
"Rin ... !"
Itu suara mamaku. Sungguh jauh dari kata merdu.
"Duh, percuma punya anak perawan, gak ngerti pekerjaan rumah, gak bisa bantun apa-apa. Masih pagi begini sudah tiduran. Saru!"
Ya, Mama tidakkah kau lihat lantai sudah kinclong, aku sudah menyapu dan mengepel. Meja dan pajangan pun sudah ku lap semua. Jangankan laba-laba, semut pun akan kepleset karenanya.
"Mama sudah jalan-jalan, sudah belanja, sudah nyiramin tanaman, kamu masih saja guling-guling di kasur." Mama melanjutkan omelannya.
Mau menjawab? Lupakan saja. Klarifikasi pun tak akan menolong. Percuma, bisa-bisa omelan Mama akan makin panjang kali lebar sampai luas dan keliling.
"Tuh lihat gelas dan piring belum dicuci, jemuran juga belum dikeluarkan. Kamu hp an terus. Kapan kamu itu dewasa? Kapan kamu akan ngerti?"
Duh, mengapa selalu ada pekerjaan baru saat Mama tiba. Padahal tadinya sudah selesai dan baik-baik saja. Tentang gelas dan piring kotor, sejak kapan barang-barang itu ada di sana. Jemuran? Lha siapa yang nyuci?