Apa kurangnya diriku? Kugadaikan rumah warisan orang tua demi memberinya modal bekerja. Kubanting tulang demi nafkah yang menjadi kewajibannya. Aku yang kepala bagian di perusahaan swasta masih mau melayaninya sepenuh hati, kusiapkan makanannya, pun kecupan untuk memulai hari meski kutahu ia tak kemana-mana.
Sayang seribu sayang, kutemukan foto mesra berikut chat mendayu-dayu dengan seorang perempuan yang kukenal baik. Baru kutahu ternyata ia ikut pergi ketika aku melakukan perjalanan dinas ke luar kota. Tujuannya  ke vila juga hotel melati. "Khilaf," katanya. Lalu meluncur deras ribuan kata maaf meluncur dari bibirnya bersamaan dengan janji-janji manis yang makin membuat hatiku terburai. Ini bukan pertama kalinya. Bodohnya diriku.
Di tempat tidur, kutunggu ia melepas kancing bajunya satu persatu, tangannya terlihat gemetar seperti malam pertama dulu, kepalanya menunduk, matanya tak kuasa menatapku. Dompet, hp, kunci motor, kunci mobil diletakkan di meja dihadapanku. "Pergilah, seperti kamu masuk rumah rumah ini." Kuberikan dua stel baju dan sepasang sandal japit yang dibawanya ke sini lima tahun yang lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H