Pertengahan tahun ini genap tiga dasa warsa saya mengajar di sebuah sekolah swasta di jantung kota. Sekolahnya cukup bagus, gedung sudah milik sendiri, ada kantin untuk siswa, ada laboratorium untuk komputer dan pelajaran IPA, buku-buku di perpustakaan cukup memadai, ada pula lapangan yang bisa digunakan untuk sepakbola, futsal, basket , badminton juga bola volley.Di lantai dua ada aula yang bisa digunakan untuk sholat berjamaah , bisa juga untuk tempat pertemuan wali murid ataupun untuk acara wisuda siswa.
Biaya SPP siswa hanya Rp. 120. 000,- sudah termasuk tabungan wajib. Jadi anak-anak tak perlu lagi membayar untul kegiatan ulangan semester , outing class, rekreasi sampai wisuda. Uang pendaftaran pun tak sampai satu juta rupiah, itu sudah mendapat empat stel seragam lengkap dengan atribut seperti topi, badge dan kaos kaki. Murah, Â dibandingkan dengan sekolah swasta yang lain yang uang pendaftarannya berjuta-juta dengan fasilitas yang hampir sama.
Sekolah kami letaknya sangat strategis, hanya seratus meter dari jalan raya. Di depan ada Sekolah Dasar Negeri, di samping kanan ada lapangan tennis tempat bapak-bapak pejabat daerah berlatih, di samping kiri ada masjid besar, di belakang ada Madarasah Ibtidaiyah. Tetapi murid-murid saya kebanyakan dari daerah pinggiran yang  sebagian besar termasuk golongan elite (=ekonomi sulit). Ada sih beberapa yang orang tuanya mapan secara ekonomi. Biasanya mereka terpaksa mendaftarkan anaknya di sini karena anaknya terkena kasus di sekolah sebelumnya  atau karena anaknya istimewa alias ABK.
Salah satu bapak guru di Mi belakang sekolah itu pernah berpesan kepada muridnya,"Jangan masuk SMP itu. Itu tempatnya anak-anak bodoh, anak-anak nakal, Â tidak ada masa depan." Â Padahal sekolah ini dengan MI itu dibawah naungan yayasan yang sama. Â
 Bisa jadi si bapak guru itu kurang update tentang sekolah ini. Di jaman ujian nasional dulu, salah satu murid  saya mendapatkan nilai sempurna untuk pelajaran matematika. Banyak murid saya yang setelah lulus dari sini diterima di SMK Negeri juga SMA Negeri lalu melanjutkan di perguruan tinggi. Saya pernah juga bertemu murid saya yang sama-sama menjadi guru.
Sekarang pun banyak prestasi yang berhasil diraih murid-murid kami. Â Berbagai lomba atau kejuaraan yang diikuti seringkali membuahkan hasil. Baik di tingkat kota sampai tingkat nasional.
Â
Sebagaimana sekolah swasta yang lain, kami harus berjibaku sampai tetes keringat terakhir untuk mencari murid terlebih ketika diberlakukan kebijakan zonasi. Dikotomi masyarakat yang masih "negeri minded" yang terfokus kepada sekolah negeri sehingga menjadikan sekolah swasta menjadi pilihan terakhir. Apalagi ada kebijakan pemerintah yang menggratiskan pendidikan setingkat SMP dan SMA sehingga seolah-olah masuk sekolah swasta itu pasti mahal.
Setiap tahun ajaran baru sekolah swasta seperti kami selalu menjerit dengan aturan PPDB agar berjalan secara transparan, demokratis dan akuntabel. Rutinitas setiap awal tahun pelajaran baru setelah pengumuman penerimaan sekolah negeri. Biasanya siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri akan berusaha mencari sekolah swasta.
Setiap tahun potensi siswa yang mundur tiba-tiba karena diterima di sekolah negeri, jadi masalah berulang yang dihadapi sekolah swasta. Bagaikan borok lama yang terus berulah, walau kuota siswa negeri sudah dibatasi dan PPDB telah ditutup namun masih ada saja oknum jalur belakang.
"Senyatanya sekolah swasta yang baik dan unggul bukanlah yang siswanya banyak saja akan tetapi sekolah yang mampu menyelenggarakan proses pembelajaran dan menciptakan lingkungan sekolah yang berkualitas dan bermakna"
Paradigma itulah yang dijalankan di sekolah ini. Dengan visi "Sekolah sak ngajine" Â kami berusaha menjadikan siswa yang unggul dalam prestasi dan beraklak mulia. Kami tidak pernah berniat mencetak uang sebanyak-banyaknya dengan menggaet murid hingga mencapai ratusan. Karena murid yang jumlahnya kebanyakan tidak bisa dikenal secara maksimal.
Saya pernah mengajar di beberapa sekolah, namun paling lama bertahan di sekolah ini. Â Saya merasakan suasana yang berbeda saat mengajar di sekolah ini. Saya bisa mengajar dengan bebas, tanpa tekanan , tanpa memakai topeng, berpura-pura halus untuk menjilat orang tua murid. Bagi saya, kebebasan adalah hal yang tak ternilai. Tidak semua sekolah bisa memberikan privilese ini.
Tidak hanya saya yang kerasan di sekolah ini, beberapa teman merasakan hal yang sama.  Tidak ada teman guru yang PNS di sekolah ini. Toh hampir semuanya  "melemu bersama", mematahkan pendapat yang mengatakan "Jadi guru pasti miskin sampai mati, apalagi bukan PNS."
Gaji saya sampai saat ini masih jauh di bawah UMR, saya juga tidak mendapat sertifikasi. Tetapi saya bangga tidak punya cicilan hanya demi sebuah pengakuan. Hutang sedikit-sedikit sih ada tapi tidak sampai mencekik leher. Ya hitung-hitung untuk menambah semangat bekerja.
Sampai menjelang pensiun ini, saya sudah mempunyai rumah sendiri, sudah berhenti menjadi kontraktor. Kendaraan ada, Â meski harus sering jalan-jalan ke bengkel. Â Untuk makan sehari-hari Alhamdulillah bisa empat sehat lima nambah lemak. Naik haji pun tinggal menunggu panggilan.
Menjadi guru bisa jadi adalah anugerah bagi saya. Saya tidak pernah mempunyai cita-cita selain menjadi guru. Dulu, semasa SMA hanya saya seorang yang mengacungkan tangan ketika Bu Guru BK bertanya, siapa yang ingin menjadi guru.
Menjadi guru membuat saya tidak pernah "tua". Selalu ada hal baru yang saya pelajari di balik mata- mata indah yang bisa tertawa dan bahagia karena hal sederhana. Melihat mata mereka saya bisa melihat dunia.
Malang, 23062024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H