Mohon tunggu...
Nuri Elba
Nuri Elba Mohon Tunggu... -

Berharap bisa terbang, Dengan sayap terbentang, Menggapai bintang, Marilah berdendang...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menitipkan Kesadaran Politik, untuk Apa Ada Politik?

5 Juli 2013   17:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:58 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13730184061645129011

[caption id="attachment_264907" align="aligncenter" width="366" caption="Sumber foto : lampost.co"][/caption]

(mengacungkan tangan) Bu, apa itu politik? (berpikir sejenak) …..Politik itu taktik…. Pertanyaan itu meluncur dari mulut saya sewaktu duduk di bangku kelas IV di sebuah SD Negeri 01 Koto Kaciak. Saat pertanyaan saya dijawab, saya sebenarnya semakin tidak mengerti dan tidak puas, walaupun guru wali kelas saya berusaha memperpanjang penjelasan. Hasilnya tidak berbeda, sama bingungnya ketika saya menonton Dunia Dalam Berita jika tanpa didampingi kakek. Tanya itu mengemuka ketika tahun 1998, ketika pemberitaan di TVRI dan RCTI banyak membicarakan kerusuhan, sehingga banyak kata ‘politik’ yang didengungkan, tapi tetap saja saya tidak mengerti. Sewaktu itu, saya memandang politik atau proses politik semisal pemilu sangatlah sederhana. Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Bapak Soeharto memiliki partai bak komposisi warna pelangi, merah-kuning-hijau. Saya usia 10 tahun sungguh takjub kala itu, bagaimana warna partai bisa begitu sesuai dengan urutan warna pelangi, dan tentu sangat memudahkan saya mengetahui apa-apa saja parpol peserta pemilu tahun 1997. “Mengapa hanya Golkar yang ada kampanyenya di Lapangan Limau Puruik, Yek?” tanya saya pada kakek. Dia hanya menjawab, golongan kekaryaan memiliki pemilih yang paling banyak di nagari kami. Di sela kampanye, saya pun ikut berteriak, bernyanyi dan berjoget di lapangan itu, karena diajak kakek kemudian ikut serta beberapa orang teman sekelas. Ya, kala itu belum ada Bawaslu yang akan mencatat pelanggaran kampanye karena melibatkan anak seusia saya bersorak-sorak mengelukan partai kuning. Esok hari pemilu, Ibu berceloteh, ”Kalau indak memilih partai yang berkampanye di Lapangan Limau Puruik, bisa-bisa Ibu yang PNS ini kena masalah.” Itu jawaban Ibu ketika saya bertanya akan memilih partai yang berwarna apa di bilik suara nanti. Saya yang berada di kampung kala itu, ketika setahun lalu ada peristiwa Kudatuli, belum sepenuhnya paham apa maksud Ibu. Tidak ada literatur pelajaran sejarah atau PPKn di sekolah saya yang mengatakan itu adalah bagian dari tindakan represif pemerintah untuk kelanggengan kekuasaan. Sudah barang tentu saya di tahun itu tak pernah mendengar keluarga saya berbicara soal Peristiwa Kudatuli, dan sudah barang tentu pula pemilu yang luber dan jurdil itu hanya soal hapalan saya menjelang ujian IPS. Yang saya pahami kala itu, hanyalah pemikiran permisif ala anak SD yang berupaya memahami kondisi yang tak mampu dijelaskan oleh lingkungan saya. Pemahaman permisif itu akhirnya berujung pada konklusi; korelasi Ibu dan Kakek yang pegawai negeri atau Ayah yang wiraswasta memanglah cocok memilih Golkar, karena mereka adalah orang-orang yang berkarya. Sebaliknya untuk PPP, cocoknya untuk ulama dan orang-orang alim yang tidak pegawai negeri. Saya tidak pernah mengenal pemilih PDI saat itu, sehingga saya betul-betul penasaran apa motivasi mereka memilih partai merah itu. Lagi pula setahu saya kecil, tak ada kampanye merah di Lapangan Limau Puruik. Ya, itu soal ketidaktahuan anak kampung terhadap dinamika politik yang sebagian besar terjadi di kota para artis. Kembali bercerita pengalaman saya ketika berusia 11 tahun, adanya reformasi yang mengagendakan tegaknya demokrasi sesungguhnya di Indonesia. Seiring pula banyak parpol yang muncul, tidak lagi indah berwarna seperti pelangi. Keluarga saya tidak lagi satu suara aspirasi dalam pemilu. Saya begitu penasaran dengan partai baru, ikut nimrung pada proses penghitungan suara tahun 1999 di balai adat. Kondisi transisi ini sebelumnya juga diawali dengan keresahan baru, kosakata baru: krismon (krisis moneter). Yang saya tahu soal itu di umur bocah, hanyalah lagu Cindy Cenora tentang krismon, membandingkan dolar dengan rupiah. Kemudian juga pemberitaan yang sudah sedemikian bebas terbuka, serta juga latah berucap ‘sembako’. Dan oleh keluarga saya ditandai dengan berkurangnya jatah baju baru di hari raya. Kondisi yang serba tidak menentu inilah yang akhirnya membuat keluarga saya dan beberapa keluarga yang saya kenal, tidak mengurusi politik lebih serius lagi dibandingkan sebelumnya. Karena perhatian mereka sudah terpecah dengan agenda lain selain politik: perut lapar dan harga kebutuhan yang mahal. Sesederhana itu. Sejak itulah saya melihat apatisme terhadap politik di lingkungan saya secara lebih luas, selepas sekolah dasar dan masuk madrasah. Tidak ada lagi pembicaraan yang benar-benar substantif mengenai politik dan peranan mereka. Mereka tiba pada satu kesimpulan; politik itu adalah ranah yang ukurannya jauh dari jangkauan. Namun gairah ini mulai muncul kembali, ibarat wajah pucat pasi yang kembali merona ketika pertama kali berkesempatan memilih langsung presidennya di tahun 2004. Mulai dari sana, masyarakat lekat dengan stiker, spanduk, umbul-umbul, dan pembicaraan mengenai tokoh. Setidaknya begitu yang saya rasakan di Solok tahun itu. Tapi, semakin mendekati kondisi kekinian, kembali masyarakat merasa jangkauan mereka terlalu jauh untuk berbicara soal politik. Dalam kepenatan menghitung dan menghapal nama partai, mengidentifikasi caleg yang daftar namanya selebar koran, hingga euforia pemilihan langsung yang juga dilaksanakan hingga ke tingkat kelurahan. Mereka semua sepertinya penat. Hampir sepuluh tahun sejak masa pemilihan presiden pertama itu, kembali ruang-ruang publik menjadi ramai oleh politik. Tak di media, tak di lapau, tak di pangkalan ojek, hingga di masjid, semuanya mulai ada yang berbau politik. Setidaknya ada foto seseorang yang menjadi caleg di dinding kayu lapau kopi, atau spanduk selamat menjelang Ramadhan di depan masjid. Tapi tak jarang pula ditemui stiker-stiker bernada sinis bergambar seorang presiden almarhum yang bertanya,”Piye Kabare?” Berupaya mengingatkan kita tentang kondisi ‘kondusif’ di zamannya. Masa yang juga menjadi alasan bagi beberapa orang tua di kampung soal apatisme politiknya kini, bahwa di zaman itu mereka rasa harga sembako tak membuat terkejut saban minggu berubah, sehingga ada waktu untuk memikirkan politik dan berkampanye di lapangan. Perjalanan Orientasi Politik Apa yang ingin saya sampaikan di cerita soal saya kecil ini? Mengutip istilah dari Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr (1978), saya kala itu sedang dalam proses sosialisasi politik. Wah, begitu keren istilah itu jika dialamatkan pada saya yang masih main lompat tali di halaman surau. Tapi memang benar adanya, proses sosialisasi politik berfungsi untuk membentuk dan sebagai penerus budaya politik dalam suatu masyarakat. Yang dalam pengertian sempit, sosialisasi politik menunjuk pada pengalaman unik yang dialami setiap individu. Maka melalui proses introduksi itu, selanjutnyai ada pengenalan dan penghayatan nilai politik, hingga ia memiliki orientasi politik tertentu. Orientasi politik pun memilik tahap, yang juga berjalan seiring perkembangan umur dan pengetahuan. Saya di usia satu dekade itu, awalnya baru pada tahap afeksi politik. Dalam proses pengenalan dan perasaan emosional terhadap objek-objek politik. Ya, semisal presiden. Harus diakui bahwa dulu saya sangat takjub terhadap Soeharto, sebuah konstruksi penilaian yang disebabkan banyak hal, termasuk siaran Dunia Dalam Berita. Lalu tahap selanjutnya adalah kognisi politik, dengan mulai meluasnya pengetahuan ke objek politik disekitarnya, seperti lagu kebangsaan atau bendera negara. Dalam tahap ini, saya baru benar-benar mampu menangis dan terharu mendengar lagu Indonesia Raya dan Padamu Negeri ketika saya dikumpulkan pada Silaturahmi Beswan Djarum se-Indonesia di Semarang tahun 2008. Nah, tahap akhir dari proses ini adalah evaluasi politik. Tahap ketika seseorang sudah mampu mengambil tindakan terhadap objek politik, misalnya dengan ikut gerakan mobilisasi massa atau menulis kritik di media. Tulisan Arthur dan Stahnke pada 1976 membahas perkenalan politik dan sistem politik yang diterangkan di Amerika Serikat waktu itu. Anak-anak mengalami kemajuan proses pemahaman politiknya secara bertahap dan berdasarkan batasan umur, dari 6-9 tahun, 9-11 tahun, 11-13 tahun, 14-18 tahun, dan seterusnya. Tahap yang terjadi pada anak-anak Amerika barang tentu juga terjadi pada anak-anak manapun seperti saya dulu. Sikap-sikap dan pengetahuan politik mulai terbentuk sejak kecil melalui identifikasi emosional terhadap objek politik dan juga kemudian dikombinasikan dengan objek yang dianut oleh orang tua. Karena menurut Almond, keluarga, sekolah, dan kelompok bermain menjadi sarana sosialisasi politik yang baku pada tingkat pertama sebelum lingkungan pekerjaan atau organisasi. Sehingga rujukan politik sesudah kita berada di organisasi, hanya sebagai penguat preferensi yang sudah terbentuk di lingkungan primer. Yang menjadi catatan dari proses sosialisasi dan orientasi politik, hal ini tak berjalan niscaya dalam pertambahan umur saja. Karena banyak faktor lain yang mempengaruhi hal tersebut. Selalu ada kata ‘tapi’ untuk sebuah internalisasi nilai-nilai ke pribadi seseorang. Sehingga tidak semua proses sosialisasi politik ini berjalan sesuai rujukan masa kecil atau afiliasi politik orang tua. Akan ada perubahan pandangan pada objek, baik secara emosional, kognisi ataupun rasional, ketika terjadi peristiwa besar yang mampu menggoyangkan keyakinan lama. Tapi apakah memang semudah itu kita mengasosiasikan maksud politik? Saya mengakui, tahap evaluasi politik saya dimulai ketika menjadi reporter kampus SUARA USU, dan mulai menguat ketika aktif di organisasi kemasyarakatan Nasional Demokrat. Tetapi, pemahaman setiap individu tentang orientasi politik sehingga akhirnya memiliki sikap politik tidak semuanya berjalan sebagaimana di teori. Jika proses sosialisasi politik dan orientasi politik ini dapat dinilai dengan tingginya tingkat pemahaman dan aspirasi politik masyarakat, maka mungkin masyarakat kita berjalan pada tingkat stagnansi. Terlebih, proses depolitisasi-deideologi-deorganisasi dalam masyarakat dari semua level, telah berjalan lebih dari 3 dekade lamanya. Bung Hatta Menitipkan Kesadaran Politik Pernah di awal abad 20, terjadi perbedaan pandangan antara Soekarno dan Syahrir tentang strategi serta tujuan dari partai politik. Bagi Soekarno dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), tujuan kemerdekaan dan nonkoorperatif terhadap Belanda ditunjukkan dengan pergerakan dan aksi massa. Sedangkan Syahrir yang kala itu baru pulang dari kuliah di Amsterdam memiliki pandangan, untuk merebut kemerdekaan dibutuhkan kesadaran politik dari massa (political consciousness), menitikberatkan pada pendidikan kader agar masyarakat mengerti sepenuhnya apa dan untuk apa partai politik didirikan. Syahrir yang sepemikiran dengan Moh. Hatta pun mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia, lebih dikenal dengan PNI Baru. Sesungguhnya, Moh. Hatta dan Syahrir telah berpikir melampaui zamannya dengan strategi itu. “Setelah Indonesia dapat mencapai Kemerdekaan sepenuhnya, sebaiknya staatvorms-nya adalah statebond atau bondstaat, susunan pemerintahannya harus kuat dari bawah dengan tujuan mendidik rakyat mengatur pemerintahan negara secara demokrat yang bersendi Kedaulatan Rakyat sepenuhnya, kuat dan berwibawa,” begitu pidato Hatta ketika mewakili Perhimpunan Indonesia pada kongress di Brussel tahun 1927. Bahwa kemerdekaan hanya dapat dipertahankan dengan mendidik rakyat mengetahui fungsinya sebagai warga negara dan anggota partai. Cara untuk membuat masyarakat kembali pada fitrahnya, sebagai mana kata Aristoteles, zoon politicon, manusia sebagai makhluk politik. Hingga pun, tugas dan fungsi partai politik untuk melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat juga telah diatur di dalam undang-undang. Begitu beliau para Bapak Bangsa memandang perlunya strata terbawah sekalipun mengetahui secara jelas bagaimana politik. Politik yang dalam hal ini sistem demokrasi, yang implementasi idealnya adalah pemerintahan oleh rakyat. Jika rakyat sama sekali tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan dengan politik dan negara, maka Kedaulatan Rakyat hanya akan menjadi mainan dan previllege segelintir orang, dalam hal ini adalah elite politik. Tetapi, jika kembali pada pendapat Almond dan Powell di atas tadi, adanya willingness dari masyarakat sebagai warga negara untuk mengorientasikan dirinya pada politik juga menjadi faktor yang besar. Dan tentu proses mengintegrasikan nilai-nilai politik di masyarakat dimulai dari lingkungan inti, dari ruang nonton keluarga, tanya jawab siswa-guru, hingga organisasi kemasyarakatan dan organisasi mahasiswa. Dan di sini, partai politik sebagai aktor yang menjadi sorotan tajam akhir-akhir ini terhadap track record-nya benar-benar dituntut untuk mampu bertanggung jawab atas tugas sejarah yang sudah dititipkan oleh Bapak Bangsa. Jika masyarakat sudah penat, itu bukanlah salah rakyat. Jika masyarakat sudah percaya, maka adalah ke-dzaliman jika partai politik menyianyiakannya. *) Pertama ditulis pada 11 November 2011, diedit pada 05 Juli 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun