Saya tinggal di Jakarta Selatan, bukan di komplek perumahan tapi di pemukiman biasa. Kebetulan karena rumah saya berada di dalam gang kecil, otomatis saya punya tentangga di sekeliling saya. Depan, belakang, kiri, kanan, semua sangat berdekatan.
Berdasarkan pelajaran yang saya peroleh di bangku sekolah, hidup bertetangga itu harus rukun, saling menghormati, saling membantu, dsb. Ternyata teori tidak selalu sama dengan kenyataannya.
Tetangga depan saya misalnya. Areanya masih tanah kosong, sang pemilik tinggal di tempat lain dan baru beberapa hari lalu datang (lagi) menengok tanahnya. Dia “panik” karena bangunannya hancur, ada sampah, banyak tanaman liar, dsb. Kami sudah menyarankan agar lebih dirapikan supaya enak dipandang mata. Kenyataannya, sampai sekarang dia tak peduli juga. Tanahnya seperti hutan belantara. Tinggal kami yang terpaksa harus rutin merapikan sebagian tanaman liar yang mulai mengganggu ke arah jalan.
Lain lagi cerita tetangga samping. Mereka punya sebuah penampungan air (torrance) yang ekstra besar tapi tak punya tempat sampah. Dan sering kali (ya, benar sering sekaliii) si torrance itu luber kepenuhan air tapi tak segera dimatikan. Pernah sampai satu jam non stop. Pintunya diketok-ketok dan orangnya dihubungipun tak bisa. Alhasil air terbuang percuma. Dan karena tak punya tempat sampah, sampahnya selalu berceceran di depan rumahnya hingga waktunya bapak kebersihan tiba.
Kalau tetangga samping satunya, sedang membangun rumah. Tanpa permisi satu katapun, dibuatnya tembok super tinggi di antara rumah kami. Tingginya sih tak masalah tapi semennya yang bermasalah. Ciprat sana ciprat sini. Kami sih maklum, setiap pembangunan rumah pastilah kotor atau sedikit berantakan. Tapi kalau diawali dengan permisi, apalah artinya cipratan semen di halaman rumah saya. Tidak adanya kata permisi itulah yang membuat cipratan semen terasa lebih “menohok” di hati.
Sudah selesai?
Belum.
Tetangga belakang lebih asyik lagi. Bulan lalu, tiba-tiba Pak RT dan seorang dari perusahaan provider datang ke rumah untuk minta tanda tangan persetujuan pembangunan tower provider di halaman rumahnya! Sementara yang punya rumab entah ke mana batang hidungnya, yang pasti dia sudah setuju dengan uang sewa tower dan minta tolong Pak RT untuk minta tanda tangan persetujuan ke tetangga sekelilingnya. Cihuy banget kan?
Untungnya batal tuh tower! *elus dada*
Yaah, begitu deh cerita tetangga yang saya alami. Bukan bermaksud menjelekkan satu pihak atau mengangkat kebaikan saya sendiri. Ini justru jadi pembelajaran buat kita semua bahwa sehebat apapun dunia ini, jalinan hubungan antar sesama (sosial) tetap dibutuhkan.
Bagi saya, pengalaman ini justru mengajarkan saya untuk bersikap dan berbuat lebih baik lagi. Saya justru merasa Tuhan menunjukkan hal-hal yang tidak sepatutnya kita lakukan.
Yang penting, kita tetap bersikap baik dan melakukan yang terbaik. Setuju?