Mohon tunggu...
Nuri Elba
Nuri Elba Mohon Tunggu... -

Berharap bisa terbang, Dengan sayap terbentang, Menggapai bintang, Marilah berdendang...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kegelapan untuk Bidadariku (2)

23 Februari 2014   19:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Memasuki bangku kuliah, aku bekerja sebagai model dan penari latar paruh waktu. Hal ini otomatis membuat lingkup pergaulanku semakin tidak terarah dan tidak beres. Kehidupanku begitu bebad. Aku terjebak dalam pemakaian narkoba dan tentu saja paralel dengan hal itu, dunia malam.

Aku berkenalan dengan seseorang dan kami saling suka. hubungan kami sangat jauh secara fisik dan aku jadi hamil. Saat aku tau hamil usia kandunganku sudah 6 minggu. Tanpa pikir panjang aku bermaksud menggugurkan janin itu karena pacarku tidak mau bertanggung jawab. Semakin larut dalam kegelisahan dan ketakutan, setiap malam aku bermimpi didatangi anak perempuan yang terus menangis.

"Ibu... tolong jangan buang aku, jangan sia siakan aku. Aku sayang ibu..."

Dihantui mimpi mimpi buruk yang tidak berkesudahan, akhirnya kuputuskan untuk mempertahankan janin dalam kandungan. Kehamilan yang semakin membesar tidak mungkin bisa terus kusembunyikan. Babeh akhirnya tahu. Bukan saja mengamuk, ia memukuliku dengab geram sampai akhirnya sadar dan memelukku sambil menangis.

Orang tuaku memutuskan kami harus menikah. Aku dan pacarku yang semula tidak bertanggungjawab itu dinikahkan. Usia kami terpaut sebelas tahun. Bulan bulan awal pernikahan kami semua berjalan baik baik saja , bisa dibilang bahagia. Namun, memasuki usia kandungan sembilan bulan, usaha suamiku bangkrut da aku dititipkan lagi ke rumah babeh.

Aku tetap melanjutkan kuliah setelah anakku lahir, seorang bayi perempuan. Pernikahanku masih utuh saat itu. Sampai masuk tahun ketiga, suamiku menghilang begitu saja tanpa kabar. Anakku yang saat itu berusia tiga tahun sakit keras dan mengalami koma hingga sebulan di rumah sakit. Dokter sudah angkat tangan. Bahkan untuk menerima suplai infus saja, anakku harus dipasang alat dikepala karena bagian tubuh lain tidak berfungsi untuk menerima infus. Sekujut tubuh bidadari kecilku terpadasang selang dimana mana, nyeri sekali dadaku melihatnya.

Karena putus asa tidak tahu keberadaan suami, aku membayar orang untuk mencarinya. Tiga hari kemudian, suamiku muncul. Betapa tidak berperasaannya dia bilang padaku bahwa ia sudah menikah lagi da punya seorang anak perempuan dari buah pernikahannya. Ia tidak peduli dengan keadaan anak kami yang sedang terbaring tak berdaya. Dan seolah olah tidak ada ikatan apa-apa diantara kami, ia langsung pulang meninggalkan kami. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Hatiku hancur, aku hanya bisa menatap kepergiannya.

Cobaan itu seakan paling berat dalam hidupku. Suamiku pergi dengan wanita lain, anakku sedang koma di ICU. Aku hanya bisa menangis tanpa henti disamping tempat tidur anakku, tidak tahu harus berbuat apa. Saat menangis dalam keputusasaan itu, aku mendengar suara adzan. Entah mengapa, kakiku tertarik untuk melaksanakan sholat.

Aku bersimpuh dalan kepasrahan, bersujud kepada Allah. Seperti flash back, semua ingatan masa lalu muncul satu per satu saat aku sedang bersujud. Yang paling nyata adalah saat aku berencana menggugurkan kandungan. Mungkin Tuhan sedang menghukumku. Aku mohon ampun pada-Nya, menyesali semua perbuatanku. Kuserahkan kesembuhan anakku kepada-Nya, memohon kebesaran dan keajaiban. Dalam doa itu, aku berjanji akan menjadi ibu yang baik untuk anakku, berusaha menjadi pribadi mandiri yang sukses agar anakku tidak terlantar.

Enam hari kemudian, aku dikagetkan oleh suara dokter yang terburu buru memanggilku masuk le ruang ICU. Anakku telah sadar. Ia membuka mata dan memanggilku dengan tidak jelas karena selang selang masih terpasang di hidung dan mulutnya. Tidak ada kata yang bisa melukiskan perasaanku. Aku hanya bisa mengucapkan syukur kepada Allah atas keajaiban dan kesempatan hidup yang Ia berikan kepada anak semata wayangku.

Aku dan suamiku akhirnya bercerai. Predikat janda pun kusandang. Aku memulai lembaran baru tanpanya, hanya bidadari kecilku. Terus terang, aku tidak tahu arah dan tujuan hidupku. Aku hanya ingin cepat cepat menyelesaikan kuliah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun