Sumber Gambar: mmm-sebi.blogspot.com
Siti Nur Hasanah, No. 14
Malam Minggu kali ini tampak cerah. Udara di luar sangat segar. Di depan pagar rumah, anak-anak usia balita berlarian ke sana ke mari tanpa terasa lelah. Bercanda, bermain petak umpet dengan teman-teman seusianya. Lain halnya dengan anak gadisku yang semata wayang, yang sekarang sudah duduk di bangku kelas VIII SMP. Aku perhatikan sejak tadi sibuk di depan meja belajarnya. Aku tidak mau mengganggunya. Bisa dipastikan, Putri ada tugas dari sekolah yang harus segera diselesaikannya. Karena sudah menjadi kebiasaannya, dia tidak akan pergi bermain kalau masih ada tugas yang belum diselesaikan. Kebiasaan itu yang membuatku merasa bangga. Ada rasa tanggung jawab yang telah dipupuknya.
***
“Bunda, mengapa R.A. Kartini sangat terkenal dan disebut-sebut sebagai pahlawan emansipasi perempuan? Sedemikian hebatkah beliau dalam memperjuangkan kaum perempuan?” tanya Putri tiba-tiba sambil menghampiriku di ruang tamu.
“Kenapa sayang, koq tiba-tiba tanya tentang R.A. Kartini?” tanyaku menyelidik.
“Putri ada tugas menulis tentang R.A. Kartini dari Bu Ana. Sejak tadi belum ada ide sama sekali, Bunda.” keluhnya sambil merajuk manja. Bu Ana adalah guru Bahasa Indonesia di sekolah Putri.
“Hemmm … begini, Sayang. “ aku mulai menjelaskan hal-hal yang aku ketahui tentang R.A. Kartini sebisaku. Itu pun sebatas apa yang pernah kubaca tentang beliau. Dengan harapan, setelah mendapat penjelasan dariku, Putri akan menemukan ide untuk menulis tentang Kartini. Biasanya dia akan merasa yakin setelah aku jelaskan, meski dia sudah pernah mendengar cerita tentang Kartini sebelumnya.
“R.A. Kartini memang sangat terkenal sebagai pejuang emansipasi perempuan. Beliau memang pantas juga disebut sebagai pahlawan bagi kaum perempuan. Lihatlah faktanya. Sekarang banyak perempuan yang ikut berkiprah di berbagai bidang. Bunda juga bisa mengenyam pendidikan tinggi dan menjadi seorang guru. Itu semua merupakan imbas dari perjuangan Kartini di masa lalu. Perempuan zaman sekarang, tidak hanya berada di dapur dan mengurusi rumah tangga saja. Banyak perempuan yang menjabat sebagai pemimpin di berbagai instansi, yang pada zaman R.A. Kartini belum banyak dirasakan oleh kaum perempuan Indonesia. Apalagi bagi kaum perempuan ningrat, yang mayoritas hidup dalam pingitan.” jelasku, yang kususul dengan penjelasan berikutnya. Putri mendengarkannya dengan raut muka yang amat serius.
“R.A. Kartini Selain cerdas dan berani, inspirasi beliau juga menjadi pencetus spirit dibukukannya penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an dalam bahasa Jawa. Hal tersebut kemudian dilaksanakan, setelah Kartini melontarkan pertanyaan kepada salah seorang guru yang mengajarkan tafsir surat Al-Fatihah dalam pengajian di rumah Bupati Demak.”
“Lho, koq bisa sich Bunda?” celetuk Putri, yang sempat menghentikan penjelasanku. Kemudian aku melanjutkannya.
“Konon menurut ceritanya, Kartini yang masih gadis belia, mendesak pamannya untuk menemani menemui gurunya Kyai Saleh Darat. Kartini begitu tertarik, karenaselama ini hanya tahu membaca Al-Fatihah tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.”
“Ada beberapa pertanyaan kartini yang membuat Kyai Saleh tertegun,” jelasku.
“Pertanyaan-pertanyaan itu di antaranya begini,” lanjutku kemudian.
***
“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu menyembunyikan ilmunya?” tanya Kartini membuka dialognya, yang membuat Kyai Saleh tertegun.
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” tanya balik Sang Kyai.
“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al-Fatihah, surat pertama dan induk Al-Qur’an. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” tutur Kartini. Kyai Saleh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela.
“Aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al-Qur’an adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?” lanjut Kartini.
***
“Itulah pertanyaan-pertanyaan Kartini yang akhirnya menggugah kesadaran Kyai saleh untuk melakukan pekerjaan besar, yaitu menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa. Konon, kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur’an tersebut dihadiahkan kepada R.A. Kartini pada saat menikah dengan R.M. Jayadiningrat, seorang Bupati Rembang. Demikianlah yang Bunda tahu sedikit tentang Kartini. Makanya mengapa Kartini begitu terkenal dan disebut sebagai Pejuang Kaum Perempuan. Semoga setelah mendengarkan penjelasan Bunda, kamu bisa bercerita tentang R.A. Kartini dengan bahasamu sendiri.” jelasku, mengakhiri percakapan kami di malam Minggu yang cerah ini.
“Terima kasih ya, Bunda. Putri sudah mendapatkan inspirasi dari penjelasan Bunda. Beginilah senangnya punya Bunda seorang guru. Bunda juga salah satu Kartini di masa kini.” pujinya dengan mendaratkan ciuman yang manja di pipiku. Aduh senangnya … Di sini aku suka merasa bangga dan bahagia dengan anak gadisku yang semata wayang ini. Hehehe….
***
Bumi Suci, 19 April 2015
#Terinspirasi oleh salah satu Artikel di Majalah AULA, edisi April 2015, hal. 8
#Salam Rumpies
Untuk melihat karya peserta lainya silakan menuju KESINI
Dan juga silakan bergabung DISINI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H