Tulisan ini merupakan oleh-oleh dari Seminar Nasional PPS UNISMA, Prodi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia, 14 Maret 2020
Mengikuti seminar maupun forum ilmiah yang lain, sama halnya memberi nutrisi baru bagi otak. Ibaratnya menambah daya/energy baru bagi alat-alat elektronik semacam gadget atau sejenisnya dengan cara menge-carge. Dengan mengikuti forum ilmiah, terutama yang bertaraf nasional dengan narasumber nasional, tentu akan banyak hal yang dapat kita peroleh. Apalagi jika menambah pengetahuan baru dengan membaca sudah jarang bisa dilakukan.
Hal serupa juga saya lakukan dengan tujuan untuk ngangsu kaweruh tentang materi yang akhir-akhir ini sering digaungkan di dunia pendidikan, yaitu materi yang berkaitan dengan merdeka belajar. Seminar yang mengangkat tema "Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Berbasis Fleksibilitas Merdeka Berlajar pada Era Digital" itu diadakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam Malang, Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia yang dikomandani Bapak Dr. Akhmad Tabrani, M.Pd., dengan narasumber Prof. Djoko Saryono, M. Pd. dan Dr. H. Nur Fajar Ariet, M.Pd.
Ada beberapa hal penting yang saya catat selama mengikuti seminar nasional tersebut berkaitan dengan merdeka belajar. Hal-hal penting itu diantaranya adalah:
Pertama, bahwa konsep merdeka belajar tidak bisa diterima begitu saja sebagai sebuah "euforia kemerdekaan" yang sebebas-bebasnya. Namun ada hal yang lebih penting dari sekedar merdeka, yaitu bagaimana persiapan kita dalam menghadapi "kemerdekaan" belajar itu secara tepat, sehingga tujuan pendidikan nasional dapat terwujud secara maksimal.
Kedua, merdeka belajar tidak hanya menyangkut intelektual skil, tetapi harus tetap memerhatikan keseimbangan antara kemerdekaan belajar dengan penumbuhan karakter; antara hardskill dan softskill; serta antara kebutuhan jasmani dan rohani berupa skil sosial, skil budaya dan akhlakul karimah. Seperti yang disampaikan oleh rektor Unisma Prof. Dr. H. Masykuri, M.Si. saat pembukaan seminar ini, bahwa merdeka belajar harus diimbangi dengan penumbuhan karakter yang kuat. Apabila karakter, budaya, dan rasa kemanusiaan tercerabut dari dunia pendidikan, jangan harap pendidikan nasional akan berhasil sesuai yang diharapkan.
Ketiga, bahwa merdeka belajar sesungguhnya bukan merupakan tujuan. Merdeka belajar hanyalah jalan atau alat untuk mencapai tujuan belajar. Merdeka belajar merupakan sebuah kondisi seimbang antara merdeka dari apa dan merdeka untuk siapa. Merdeka belajar merupakan poros proses pendidikan. Oleh karena itu, perlu benar-benar dipersiapkan prakondisi dan ekosistem yang memadai.
Dalam hal ini, yang menjadi penentu merdeka belajar di sekolah/madrasah adalah guru dan tenaga kependidikan merdeka sebagai PTK penegak dan penggerak pendidikan, sarana prasarana sekolah/madrasah yang memerdekakan, serta lingkungan sekolah/madrasah yang memerdekakan. Tentu saja dengan mengondisikan sekolah/madrasah ruang merdeka belajar, sekolah/madrasah sebagai sumber belajar yang merdeka, serta sekolah/madrasah sebagai lingkungan belajar yang merdeka.
Keempat, seiring dengan hal-hal di atas, yang tidak kalah pentingnya dan harus dipersiapkan lebih matang adalah sumber daya manusia, dalam hal ini guru/pendidik, yang benar-benar bisa membawa peserta didik ke dalam program merdeka belajar ini. Sebagaimana yang disampaikan Dr. H. Nur Fajar Arief, M.Pd., jangan sampai peserta didik sudah tercukupi kebutuhan belajarnya di luar, sehingga ketika di dalam kelas tidak lagi membutuhkan informasi dari guru karena terbatasnya kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran yang merdeka. Guru hendaknya menjadi magnet, menjadi pemikat bagi siswanya, sehingga tetap merasa bahwa kehadiran guru dalam proses pembelajaran sangatlah penting.
Kelima, berkaitan dengan RPP satu lembar. Jika kita membahas tentang merdeka belajar, mau tidak mau kita pasti akan menyinggung tentang RPP satu lembar. Hal ini sebenarnya tidak perlu membuat para pendidik menjadi galau. Sebab dengan merdeka belajar, mestinya guru juga harus merdeka mengajar. Toh, RPP satu lembar itu hanya minimal. Kalau kita mau mengembangkan menjadi lebih, tentu tidak dilarang. Dengan merumuskan tujuan pembelajaran yang benar, menyusun sintak/langkah-langkah pembelajaran yang sesuai, serta melakukan evaluasi pembelajaran dengan tepat, pasti kondisi merdeka belajar akan terwujud.
Berkaitan dengan hal-hal di atas, tentu tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan dari pemerintah. Baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun kebijakan dari institusi terkait lainnya. Meskipun demikian, kita tidak seharusnya memaknai sebuah kebijakan secara kaku. Sekali lagi harus kita perhatikan keseimbangan-keseimbangan sebagaimana telah dijelaskan di atas.