Salah satu fenomena memprihatinkan yang sering saya temui adalah "salah jurusan", baik di tingkat SMA maupun Perguruan Tinggi. Saya pun tahu rasanya, karena pernah salah jurusan sewaktu SMA. Saya yang saat itu masih tenggelam dalam keseruan dunia remaja tidak menjadikan persoalan memilih jurusan sebagai suatu hal yang perlu dipikirkan.Â
Berbekal "kata orang", saya memilih IPA sebagai pilihan jurusan --keputusan yang kemudian saya sesali. Sejak kecil, bahkan mungkin sejak saya belum lahir, orang tua saya memang sudah berangan-angan bahwa satu-satunya anak perempuan mereka ini kelak dapat menyematkan gelar "dr." di awal namanya. Dan sebagai seorang anak yang ingin membahagiakan orang tuanya --juga karena dipengaruhi drama korea tentang kedokteran, saya pun menjadikan dokter sebagai cita-cita.
Saya kemudian mulai belajar dengan serius, terutama pada mata pelajaran biologi yang memang merupakan dasar utama kedokteran. Saya yang kemampuan menghapalnya sangat lemah harus memaksakan diri untuk mengingat ratusan kata bahasa latin. Tak terhitung berapa kali saya mengeluhkan "Kenapa gak dibikin mudah saja sih bahasanya?" atau "Ini asal katanya dari mana ya sampai jadi begini?" yang biasanya berujung penerimaan "Ya sudahlah, hafalkan saja." Berbagai perlombaan juga saya ikuti, yang tidak pernah berbuah kemenangan.Â
Sempat terpikir bahwa saya terlalu bodoh untuk memahami materi-materi itu. Terlebih ketika menghadapi kenyataan bahwa saya memang tidak bisa menghapal sesuatu yang tidak saya mengerti asal-muasalnya. Semua hafalan itu dengan mudahnya menguap setelah seminggu kemudian saya mencoba me-review. Di saat-saat seperti itu, saya semakin meragukan keinginan saya menjadi dokter.
Tibalah saya di tahun ketiga SMA, masa-masa kritis untuk menentukan jurusan kuliah. Setelah dilanda dilema berbulan-bulan, saya akhirnya memutuskan bahwa menjadi dokter bukan lagi menjadi impian. Keputusan ini tentu bukan tanpa alasan yang kuat, melainkan telah melalui renungan selama ratusan malam.Â
Dengan berbagai pertimbangan, saya memutuskan untuk tidak lagi menekuni rumpun saintek dan beralih ke soshum, sesuatu yang ternyata sangat saya banget. Alasan utamanya satu, bukan passion. Tentu saja keputusan yang saya ambil ini tidak diterima mentah-mentah oleh keluarga, terutama orang tua. Apalagi di mata mereka, saya hanyalah seorang gadis remaja yang sedang dalam fase labil, belum cukup matang dalam membuat keputusan.Â
Singkat cerita, setelah berargumen panjang lebar selama beberapa bulan, keluarga saya akhirnya mengiyakan. Percayalah, bukan proses yang mudah bagi saya untuk bisa meyakinkan mereka. Tetapi apa yang ada di pikiran saya saat itu adalah bahwa saya tidak ingin kejadian salah jurusan ketika SMA kembali menimpa saya lagi. "Sudah cukup. Aku ogah 'dipaksa' belajar lagi."
Sebenarnya mengenai bahasan kuliah sesuai passion ini masih banyak pro dan kontra. Merry Riana, seorang pakar pengembangan diri, berpendapat bahwa kuliah tidak sesuai passion itu tidak masalah, karena toh yang diambil adalah proses belajarnya. Ada juga yang berpikir bahwa tujuan utama kuliah adalah untuk mencari kerja, maka persoalan passion atau bukan menjadi tidak penting.Â
Saya pribadi menganggap kuliah seharusnya sesuai passion. Karena hanya dengan begitu, kita dapat mencapai hasil optimal dari kegiatan perkuliahan. Memang, ada beberapa orang yang bisa tahan mempelajari hal-hal yang tidak terlalu disenanginya. Tetapi saya pribadi tidak demikian. Sangat sulit bagi saya untuk memaksakan diri belajar suatu hal jika tidak didasari ketertarikan. Maka bagi saya, kuliah sesuai passion adalah suatu keharusan. Dan saya yakin saya tidak sendiri.
Saya kenal dengan beberapa orang yang termasuk dalam kategori salah jurusan. Alasannya beragam. Ada yang karena disuruh orang tua, ada yang aji mumpung karena ketika mengisi formulir SNMPTN atau SBMPTN hanya asal-asalan saja, atau ada juga yang tergoda citra jurusan tersebut yang katanya "keren". Mereka kemudian ada yang memilih keluar dan mencoba peruntungannya lagi tahun berikutnya, ada yang masih bimbang, dan sisanya memilih pasrah.Â
Pada akhirnya, semua kembali pada pandangan masing-masing. Namun bagi saya, kuliah salah jurusan itu adalah mimpi buruk. Membayangkan bahwa saya harus belajar sesuatu yang tidak saya sukai selama empat tahun --bahkan lebih, dan lanjut berkecimpung di dunia kerja yang bukan definisi "menarik" bagi saya, serta harus berkutat dengan buku-buku serta jurnal yang membosankan.Â
Arghh, diri ini ingin memberontak. Kasihan rasanya saya melihat beberapa teman yang ogah-ogahan kuliah karena memang tidak tertarik dengan jurusan mereka sendiri. Di mata saya, mereka bagaikan mayat hidup yang berjalan terseok-seok didorong angin ketakutan akan IPK anjlok, persis seperti saya ketika SMA dulu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H