"Aku selalu berpikir aku adalah manusia yang tidak normal, tapi ku kembalikan lagi pertanyaan yang sama, seperti apa tolak ukur normal itu? Apakah kehidupan orang lain diluar sana adalah yang paling normal? Atau kehidupan di sosial media?"
"Entah sedang menyapu, mencuci piring atau hanya terdiam, tanya yang sering mampir adalah, Kenapa aku seperti ini? Ada apa dengan pikiranku?"
"Rasanya sudah terlalu rusak apa yang ada di dalam kepala atau bahkan hatiku. Selalu merasa sedih, selalu bertanya-tanya atau merasa tidak berguna."
"Tentu aku berguna, begitulah pengamatanku, setidaknya aku masih bisa membantu teman-teman, aku bisa membantu adik-adik, atau beberapa hal remeh lainnya. Setidaknya aku bisa dalam beberapa hal."
"Tapi, tahu tidak? Yang membuat situasi menjadi 'aku paling tidak berguna' adalah saat aku nggak tahu apa yang ku lakukan murni membantu atau hanya untuk sesuatu, niat yang lain. Aku merasa nggak pernah benar-benar tulus, aku menyadari aku munafik dan aku merasakan itu."
"Aku jengah menghadapi perasaan demikian, tapi akupun tidak ingin menjadi abai hanya karena aku merasa niatku sedikit berbeda."
"Apakah aku pernah mengatakan bahwa aku muak dengan diriku, muak dengan situasiku, muak dengan orang-orang."Â
"Aku berusaha membaca, melakukan kegiatan yang tak memerlukan orang lain tapi tetap bisa berdiskusi, aku butuh nasehat yang memelukku, tapi tak pernah ada, satupun."Â
"Menyedihkan, bukan?"Â
Seseorang pernah mengatakan, 'bahwa dirimu adalah guru, penasehat, teman, lawan, orang tua, saudara bagi dirimu sendiri.'Â
Ull menghela napas berat, merentangkan badan di keramik dingin, memutar kembali suara yang sempat ia rekam. Suara yang membuatnya muak.Â