"Jangan terlalu kepo dengan masa depan, jalani saja. Semakin kamu pikirkan, semakin diterka akhirnya kamu sendiri yang pusing," begitu tulisku, mengomentari salah satu postingan.Â
"Masa depan itu hal gaib, hanya Tuhan yang tahu. Jika resah dengan masa depan ya berdoa, semoga masa yang tidak diketahui itu lebih baik dari hari ini. Jangan lupa berusaha juga." Tulisku di catatan hp.Â
Banyak yang bilang, umur 20-an ke atas itu lagi pusing-pusingnya memikirkan hidup. Entah galau tentang kuliah, skripsi, uang, orang tua atau diburu nikah.Â
Dan katanya, semakin tua circle pertemanan juga makin kecil. Dimana masing-masing kita akan mencari, menemukan atau mengejar target hidup.Â
Representasi dewasa itu keras di kacamata ku. Rasanya tidak kebayang, dulunya apa-apa orang tua, sekarang apa-apa sendiri.Â
"Nuul, tugas banyak banget ya, jadi pengen nikah aja," kata seorang teman.
Aku diam cukup lama, entah kenapa beberapa temanku berpikir bahwa pernikahan bisa menyelesaikan masalah. Pernikahan tentu tidak sesimpel yang terpampang di media sosial. Walaupun mungkin sesekali terlintas, akan lebih menenangkan menghadapi masalah dengan seseorang yang bisa mengarahkan dan membimbing.Â
Tapi, tidak, untuk menemukan pasangan yang serba lurus, bukankah kita harus memulai dengan pencarian jati diri yang sama baiknya. Mudahnya, saling memantaskan diri.Â
"Nuul, kenapa sih dosen suka banget ngasih tugas bejibun?!" Keluhnya lagi, tekanan pada keyboard laptopnya makin jelas terdengar. Aku jadi meringis, kasihan betul laptop itu.Â
"Ram, bersyukur dong kalau banyak tugas, kita jadi banyak belajar dan banyak tahu," ujarku menimpali, mengundang delikan sinis darinya. Aku tertawa.Â
"Nuul, kok bisa sih kamu suka belajar? Gini ya, kita sama-sama manusia, tapi kok aku nggak sesuka itu kalau masalah belajar, kamu makan apa heh?"Â
Lagi-lagi aku tertawa.Â
"Ya sama aja sama kamu, Ram. Makanan sehari-hariku sederhana saja. Tapi menurutku, kecenderungan belajar seseorang tergantung kebiasaannya nggak sih?"
"Maksudmu, aku ini nggak terbiasa belajar makanya nggak suka belajar, gitu?" tanyanya sarkas, bersedekap dada dengan raut wajah jutek.Â
Temannya ini memang sangat ekspresif, bukannya merasa bersalah aku malah tertawa lagi, lebih kencang.Â
"Ya! Nuul, tega sekali kamu menertawai kebodohanku," tambahnya kemudian, menghentikan sisa tawaku.Â
"Aku bukannya menertawai kebodohanmu, Ram. Lagipula kamu nggak bodoh, loh. Maksudku soal tadi, yah aku terbiasa belajar pake buku, mendengarkan, mengamati. Jadi, sewaktu-waktu menghadapi tugas seperti ini, aku oke-oke aja. Sebaliknya, kamu terbiasanya belajar dari lingkungan, berbaur sama orang lain dsb. Jadi, ketika kamu dapat tugas yang mengharuskan kamu terkurung dengan buku, fokus berjam-jam tanpa ada interaksi kamu malah nggak nyaman. Ya gitu aja sih." Jelasku panjang lebar, Rami malah cengengesan.Â
"Nuul, kamu memang teman yang berbahaya, tahu."Â
Aku mengernyit bingung, menatapnya menunggu penjelasan.Â
"Kamu emang sedetail itu ya? Aku jadi terharu diperhatiin segitunya," jelasnya, membuatku menepuk dahi. Itu kebiasaanku bukan sesuatu yang besar.Â
Sebenarnya belajar bukan sesuatu yang menyenangkan setiap saat bagiku. Apalagi belajar untuk mendapatkan sesuatu yang besar, seperti gelar, menyediakan beban tersendiri. Seharusnya belajar memang dilakukan sealami karena kita butuh ilmunya, bukan selain itu kan?
 Belajar di ranah kesehatan bukan sesuatu yang mudah. Ditambah ada harapan banyak orang yang sudah memvonis 'Nuul akan menjadi seorang dokter'. Rasanya melelahkan ketika memikirkan masa depan yang tidak pasti dan harapan-harapan banyak orang.Â
Aku tidak punya kapasitas untuk menentukan masa depan seperti apa yang akan kujalani berikutnya, dipikirkan pun tidak menghasilkan apa-apa kecuali pusing. Jadi, jalani dan usaha sebaik mungkin. Tuhan Maha Adil atas setiap usaha hambanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H