Lagi-lagi aku tertawa.Â
"Ya sama aja sama kamu, Ram. Makanan sehari-hariku sederhana saja. Tapi menurutku, kecenderungan belajar seseorang tergantung kebiasaannya nggak sih?"
"Maksudmu, aku ini nggak terbiasa belajar makanya nggak suka belajar, gitu?" tanyanya sarkas, bersedekap dada dengan raut wajah jutek.Â
Temannya ini memang sangat ekspresif, bukannya merasa bersalah aku malah tertawa lagi, lebih kencang.Â
"Ya! Nuul, tega sekali kamu menertawai kebodohanku," tambahnya kemudian, menghentikan sisa tawaku.Â
"Aku bukannya menertawai kebodohanmu, Ram. Lagipula kamu nggak bodoh, loh. Maksudku soal tadi, yah aku terbiasa belajar pake buku, mendengarkan, mengamati. Jadi, sewaktu-waktu menghadapi tugas seperti ini, aku oke-oke aja. Sebaliknya, kamu terbiasanya belajar dari lingkungan, berbaur sama orang lain dsb. Jadi, ketika kamu dapat tugas yang mengharuskan kamu terkurung dengan buku, fokus berjam-jam tanpa ada interaksi kamu malah nggak nyaman. Ya gitu aja sih." Jelasku panjang lebar, Rami malah cengengesan.Â
"Nuul, kamu memang teman yang berbahaya, tahu."Â
Aku mengernyit bingung, menatapnya menunggu penjelasan.Â
"Kamu emang sedetail itu ya? Aku jadi terharu diperhatiin segitunya," jelasnya, membuatku menepuk dahi. Itu kebiasaanku bukan sesuatu yang besar.Â
Sebenarnya belajar bukan sesuatu yang menyenangkan setiap saat bagiku. Apalagi belajar untuk mendapatkan sesuatu yang besar, seperti gelar, menyediakan beban tersendiri. Seharusnya belajar memang dilakukan sealami karena kita butuh ilmunya, bukan selain itu kan?
 Belajar di ranah kesehatan bukan sesuatu yang mudah. Ditambah ada harapan banyak orang yang sudah memvonis 'Nuul akan menjadi seorang dokter'. Rasanya melelahkan ketika memikirkan masa depan yang tidak pasti dan harapan-harapan banyak orang.Â