"Bahkan mereka yang menghabiskan banyak waktu di sekolah belum tentu belajar, jadi jangan heran jika banyak lulusan yang belum bisa membangun." Lanjutnya, menatap mataku seolah mencemooh.Â
Waktu 15 tahun bukan waktu singkat, selama itu aku belum bisa menjadi apa-apa.
"Lalu, belajar seperti apa yang bisa menciptakan manusia-manusia pembangun?" tanyaku, menghiraukan perasaan down yang melintas.Â
Raag membalas acuh, menatap lekat-lekat orang-orang yang berada dibawah sana.Â
"Seharusnya kamu menanyakan kepada dirimu, kamu seorang pelajar, bukan?"Â
"Oh, kamu mengejek ku tidak menghasilkan, tidak melakukan apa-apa di jenjang sekarang," sarkasku, mendecih merasakan kesombongan Raag yang mengintimidasi.
"Kamu masih emosian, Al, terlalu rentan patah. Padahal kamu banyak belajar tentang psikologi, kan?" balasnya, pertanyaannya terdengar serius dan peduli.Â
Jika harus memilih, Alma tidak akan memilih Raag sebagai teman. Karena ia sendiri tahu, memilih Raag sama halnya dengan hidup dengan orang yang memenjarakannya. Raag adalah orang yang mengunci sebagian udara yang membuatku tetap hidup.Â
"Kamu belum sembuh, bahkan setelah 15 tahun berlalu?" tanyanya, bahkan ketika ia tahu pasti jawabannya.Â
"Kamu tidak mengalaminya, Raag, walaupun aku tahu, akan tetap sulit lepas dari sesuatu yang sudah membaur dengan dirimu, penyakit itu sudah menetap lama di alam bawah sadarku," ujarku, membela diri.Â
"Seharusnya mudah, Al, jika kmu berani mengikuti step-step yang kamu pelajari, cobalah sesekali lawan alam bawah sadarmu," sanggahnya, suaranya kian terdengar jengah.