Satu notifikasi masuk, temannya membalas setelah 30 menit. Tentu saja di membacanya, Diya lupa temannya menggunakan WhatsApp ilegal.Â
Diya acuh tak acuh, mengabaikan pesan dan menonaktifkan WhatsApp. Semua orang akan mengatakan ia buruk, jika mengetahui perangainya satu ini.Â
"Musuh terbesarmu adalah kepala yang banyak berpikir negatif, kamu akan sulit bertumbuh dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama prasangka-prasangka yang tidak pasti," bacanya, Diya related dengan hal itu. Dan ia sedang berusaha memperbaiki dirinya yang sudah terlanjur gelap, diliputi pikiran negatif dan rasa tidak suka.Â
"Apakah orang seperti dirinya masih bisa selamat? Orang miskin dengan pola pikir miskin," tulisnya di kolom komentar, tentunya dengan akun anonim.Â
"Aku nggak tahu dimana awal mula aku menemukan diriku yang seperti ini, siapa yang harus disalahkan dengan keadaan ku saat ini," tuturnya, memenuhi ruang kamar itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab.Â
Kata-kata motivasi, afirmasi positif ia tuliskan di sticky notes yang tertempel di dinding kamarnya. Berharap ia masih punya sedikit saja kebaikan dalam dirinya.Â
Diya frustasi dengan dirinya, tapi ia tidak boleh mati sebelum ketetapan itu. Ia ingin berubah, sebagaimana waktu yang tersisa, dia ingin ketika menyambut kematian Diya pergi dengan diri yang lebih baik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H