Mohon tunggu...
Nurhidayah
Nurhidayah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Manusia Biasa

"Membacalah dan menulis, bentuk peradaban maju di dalam pola pikirmu." - Instagram: hayzdy Linkedin: www.linkedin.com/in/nurhidayah-h-23aab8225

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kehidupan Ini Hanya Ilusi, Kan?

21 Januari 2023   06:12 Diperbarui: 21 Januari 2023   06:30 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tidak banyak yang ingin berteman denganku, cewek banyak tanya yang sukanya merepotkan pikiran orang lain. Dulu seseorang dengan sarkas mengatakan, "Siapa pula yang ingin berbaik hati ikut memikirkan hal-hal random bersama mu, benar-benar tidak asik dan membosankan." 

"Nena, kenapa tidak berhijab lagi?" Tanyaku pada akhirnya, setelah ribuan kali berpikir efek pertanyaan itu. Kami teman, seharusnya Nena tidak akan tersinggung kan? Ya, semoga tidak. 

"Eng, kurang nyaman saja, Ib, besok-besok bakal dipake lagi, kok, cuma sekarang cuaca lagi panas banget hehehe." Sesuai dugaan ku, Nena tidak marah. 

"Besok pakai lagi ya, kita samaan warna hitam, okey?" Lanjutku lagi, kali ini Nena menatapku dengan mata berkedip pelan, dia terlihat berpikir. Ah, semoga dia tidak berpikir aku berusaha mengaturnya.

"Okey," cetusnya kemudian. Ekspresinya benar-benar membuatku banyak berpikir. 

Nena teman yang baik, dia banyak diam, cenderung berperan sebagai pendengar disetiap kesempatan. Nena teman yang pengertian, walaupun sedikit cuek, raut wajahnya cukup bersahabat jika kami menghabiskan waktu bersama. Nena dan aku, dua orang yang berada pada kondisi yang hampir sama, ketika berbaur dengan orang-orang kami adalah orang yang tidak terlihat, tidak terlalu diperhitungkan ada atau tidaknya. Hanya saja, yang membuat Nena dan aku begitu berbeda bahwa, Nena tidak peduli terhadap banyak hal, sedang aku peduli dan bisa saja memikirkan banyak hal terkait eksistensiku di dalam masyarakat. 

"Nena, pernah kepikiran tentang kematian nggak?" tanyaku lagi. Sepertinya, kali ini aku harus memegang kendali percakapan, suasana awkward dianatar kami memang sering terjadi, dan au merasa bertanggung jawab untuk menghidupkan suasana. Ya itulah aku, Raib dengan segala pikirannya. Nena hanya diam, 'Semoga pertanyaan ku tidak mebuatnya ingin cepat-cepat pulang, huft' rapalku. Tapi, karena dia Nena, maka tidak apa-apa berbicara sedikit banyak. 

"Pernah, kenapa tiba-tiba bahas kematian? Kucingmu mati lagi ya?" balasnya kemudian. Dengar kan, Nena bahkan menyimak dengan benar betapa hewan peliharaanku selalu mati jika dirawat olehku.

"Tidak, hanya kepikiran saja. Em, Nena, kamu ada ketakutan nggak kalau sewaktu-waktu menghadapi kematian?" 

"Pertanyaanmu bikin takut, tahu. Tapi nggak apa-apa, kamu kan Raib, heheh." Dia terkekeh singkat, lantas merenung menatap langit biru.

"Aku takut ketika proses kematian itu terjadi," jelasnya, kemudian tiba-tiba tersentak dari lamunan. 

'Astaghfirullah, terulang lagi.'

'Ingat, aku adalah Raib, Raib adalah Nena. Walaupun Nena adalah versi lamunan saja, versi yang aku inginkan'

'Huft, sepertinya aku harus banyak bertemu manusia lain.'

Raib beranjak dari tempat tidur, langit-langit kamarnya terlukis percakapan tadi, lebih tepatnya lamunannya seolah bergelantungan di atas sana. 

Perkenalkan namaku Raib, seorang introvert atau mungkin kata orang, Raib si anti sosial. Raib, sejak memasuki bangku kuliah, ia memilih mengurangi interaksi dengan yang lain, teman lama ataupun siapapun itu. Maka dari itu, akhir-akhir ini Raib cenderung hidup di dalam cerita yang dibuat kepalanya. Ia ingin menjadi Nena yang tidak peduli banyak hal, Raib tidak ingin menjadi seorang yang kelimpungan sendiri dengan kepalanya yang rumit. 

"Raib," panggil ibu dilangkah pertamaku meninggalkan kamar.

"Ya?" sahutku, menghampirinya. 

"Ikanmu baru saja mati, ibu mau olah, enaknya goreng atau masak?" tanyanya, memperlihatkan ikan yang tergeletak di talenan.

"Hehehe, goreng saja, aku keluar dulu, Bu."

'huft, ikanku mati lagi, entah kenapa tanganku tidak cukup baik mempertahankan hal-hal baik, em tapi... ikan itu tadinya baik-baik saja, eh, atau ada yang membunuhnya?'

"Yara!" teriakku pada adikku yang bermain di halaman.

"Kamu yang bunuh ikan ku ya?" sentakku galak, Yara mengernyitkan dahi, menggeleng-geleng dan pergi begitu saja.

'Kalau bukan Yara, apa ibu ya?' pikirku kembali masuk ke dalam rumah menuju dapur.

"Ibu, kok, ikanku bisa mati?" tanyaku penuh selidik.

"Raib, coba pikirkan lagi, apa saja yang udah kamu kasih ke ikanmu, kamu kebiasaan kalau merawat sesuatu tidak pakai ilmu, makanya nggak awet peliharaanmu."

"Raib, duduk dulu. Jangan terbiasa melamun. Kalau ada masalah bicarakan baik-baik, nggak boleh mengambil kesimpulan sendiri lalu sakit dan pusing sendiri. Kamu tahu, hal-hal yang membuatmu takut berbaur, selalu gagal dalam merawat sesuatu karena kamu merasa bisa melakukannya sendiri, kamu mengandalkan dirimu terlalu banyak, memporsir dirimu lebih dari yang seharusnya. Mulai sekarang, biasakan berdiskusi dengan ibu kalau ada masalah. Jangan takut bertanya dan jangan pelihara hal-hal negatif yang ada di kepalamu itu. Nggak baik buat kesehatanmu." 

Pada akhirnya Ibu tahu bahwa aku sedang tidak baik-baik saja, tapi kenapa selama ini Ibu hanya diam? Kenapa baru sekarang? Saat alam bawah sadarku sudah terlalu kental dengan hal-hal negatif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun