"Biar aku yang bayar," ujar Fikran menginterupsi suara Nane yang akan bergaung memanggil si penjual es.Â
"Eh, nggak perlu, aku punya uang, lagipula kita hanya tidak sengaja ketemu, rasanya nggak enak kalau harus kamu yang bayar," ungkap Nane, lantas menyodorkan uang kepada si penjual.Â
"Ehm, omong-omong bulan depan aku bakal nikah," jelas Nane, sembari membenarkan hijab bersiap pulang ke rumah.Â
"Eng, sorry, nikah? Lalu, kenapa terima tawaranku tadi?" tanya Fikran menandakan keheranan dan keterkejutan.Â
"Kita hanya nggak sengaja ketemu, lagipula aku memang berniat kesini tadi, bukan sengaja terima tawaranmu," ungkap Nane, menatap wajah Fikran yang mendadak sayu.Â
"Oh, okey, kayaknya aku salah paham lagi dan terlalu terbawa suasana. Aku minta maaf," lanjutnya, membenarkan posisi duduknya yang tiba-tiba tidak enak.Â
"Ada-ada saja, ini bukan kesalahan, Fik, hanya saja apapun yang terjadi itu urusan masing-masing," jelas Nane, mengakhirkan pertemuan dengan Fikran.Â
"Aku pamit ya." Ucapnya, kemudian melangkah menjauh ke arah mobil yang menunggu. "Okey, hati-hati dan semoga semuanya berjalan lancar," balas Fikran yang menjadi kalimat terakhir yang didengar Nane.Â
Berbincang dengan Fikran memang menyenangkan, salah satu kebahagiaan. Sayangnya, Fikran hanya kebahagiaan yang lain, bukan kebahagiaan yang patut Nane rasakan di sisa-sisa hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H