“Masa lalu layaknya pasir yag kita genggam, semakin berkurang, berjatuhan, lalu kemudian hilang.”
Diluar sangat ramai, terdengar jelas lalu lalang kendaraan yang bertautan, meskipun cuaca hari ini kurang bersahabat. Kabut tebal menutupi sang surya, zat cair dari atap bumi nampak sudah tak sabar untuk membasahi tanah pertiwi, memberikan kehidupan bagi seluruh makhluk. Disini sangat terasa semilir angin, menciptakan suara gemerisik dari dedaunan,dan berhasil menerobos rongga-rongga jiwa, menusuk lapisan tulangku yang telah merapuh, serta menyibakkan rambutku yang tak lagi gelap.
Hari ini 20 Desember 2011, tepat 30 tahun kepergiaanmu, ke tempat yang tak kuketahui keberadaannya, siapa yang menemanimu sekarang? , Sedang apa kamu sekarang?, Dan seperti apa kamu sekarang?, Apakah sama denganku yang tak lagi ranum, dan banyak guratan pada kulit? Apakah kamu telah menemukan pasangan yang tepat disana? Entahlah, yang pasti penyesalanlah yang selalu menghantui pikiran juga jiwaku.
000
Ini kali pertamaku menginjak SMA Tunas Bangsa Bekasi. Dan kamu orang pertama yang berhasil menarik perhatianku, juga ratusan siswi lainnya. Wajahmu menawan, tubuh atletis, and smart. Tak terduga sebelumnya aku bisa berkenalan dan dekat denganmu, yah sebenarnya akulah yang memulai, aku bergabung menjadi anggota tim PAPALA yang sebenarnya tidak kusukai, tapi kamulah yang menjadi magnetku. Kontan saja kita menjadi dekat karena kerap terlibat kerjasama, meskipun tak pernah berdialog secara langsung.
Tak terasa sudah setengah semester aku mengenakan seragam putih abu-abu. Tapi semakin hari aku semakin tertarik pada caramu bersikap, berpikir, bertindak, berjalan, berbicara, bahkan berlaripun menarik untuk terus-menerus kupandangi. Dan sungguh diluardugaan ternyata, kau menyadarinya.
“Kat, sabtu malam ini kamu ada waktu nggak?”
“Emm memangnya ada apa di?”
“Aku mau ngajak kamu dinner, eeemm tapi kalo kamu bisa dan aku juga gak maksa.” Oh my ghost, apa ini mimpi? Kamu mengajakku makan malam? I’m speechless now, and sooo happy absolutly, tiba-tiba pemompa darahku tidak stabil, dan nyaris berhenti. Benar kata orang kalau lagi jatuh cinta, hati ini layaknya taman bunga yang serempak bermekaran menyerupai lonceng. “Kat, katy, kamu udah ada acara lain yah? Kok gak jawab.”
“Emm sorry tadi aku tiba-tiba keingat_ _kucing aku dirumah, jadi agak bengong.” Jawabku seadanya, menghindari kecurigaannya dan mencoba untuk come down. “A_aku bisa kok, BTW jam berapa?”
“Oke, nanti malam aku jemput kamu, jam 7. Oke?”
“O__okey. “ Jawabku seraya mengangguk, dan menaikkan kedua alis dan tetap berusaha menyembunyikan parasaanku yang bergejolak.
Semua berjalan dengan lancar, dan kita selalu jalan bersama, menikmati hari, menjelajahi tempat wisata menggunakan mustang (mobil)milikmu. Dan pada usiaku yang ke 18 tahun kamu mengajakku menghampiri suatu tempat Counter Tatoos, dan kita membuat matching tatoos.
Hariku terasa sempurna karena kamu. Tiap kali memasuki koridor sekolah, banyak pasang mata yang siap untuk menatapku dengan sinis, bahkan garang, seraya mengerucut dan memiringkan bibir mereka. Tapi aku telah terbiasa dengan ini selama 2 tahun.
Dan kali ini kamu kembali mengejutkanku dengan mengajakku menemui keluargamu, rasa takut, malu, sekaligus perasaan bahagia tercampur menjadi satu bagian yang siap untuk membuat otakku bingung untuk bertindak. Aku hanya bisa memberikan senyuman singkat untuk membuatmu senang. Karena aku rasa ini terlalu cepat, untuk usiaku yang 18 tahun. Tapi apakah Ia mau menikahiku setelah lulus SMA nanti, tapi tidak TIDAK mungkin, toh selama ini kita hanya berteman dekat, kamu tidak pernah mengutarakan perasaanmu padaku. Walaupun aku sangat ingin menjadi kekasihmu, tapi bagiku dekat dan bisa bersama denganmu itu sudah cukup.
Aku mulai lega, ternyata keluarga kamu sangat antusias menyambutku, dan aku sudah merasa layaknya home owner, kamu mengajakku untuk naik ke atap dengan membawa beberapa minuman kaleng dan camilan. Seraya menikmati indahnya pemandangan, sedikit terlepas dari hiruk pikuk kehidupan, merasakan udara yang naturall and pure, berbaur bersamanya, dan tertawa lepas. Berbicaca tentang masa depan kita kelak, like we had a clue. Seperti apa kita nanti, ingin menjadi apa, dan bagaimana kita mencapainya. Tak pernah terpikirkan dan terencanakan olehku jika suatu saat akan kehilangan kamu.
Hari ini 10 Desember 1981, aku tidak melihatmu, kuitari beberapa bagian sekolah, tapi nihil. Dimana kamu hari ini?, Apakah kamu baik-baik saja?, Jariku bermain pada beberapa tut yang sudah kuhafal, tapi tetap nihil.
Ada beberapa spekulasi muncul tentangmu, bahkan ada salah satunya yang membuatku mengkerutkan_kendurkan kening. Kamu sedang dekat dengan seorang siswi yang bernama Lia yang cantik, anggun, ramah, dan ramping. Mereka match jadi ada apa denganku, tidak ada hakku untuk jealous, toh so far kita hanya berteman atau HTS (hubungan tanpa status). Yah setidaknya aku bisa dekat denganmu. Tapi aku layaknya air bah yang tak bisa lagi tertahan, aku cemburu, serasa ada silatan api didadaku.
Rumah kamu nampak sunyi, tapi aku yakin pasti ada seseorang di dalam sana, aku harus bicara denganmu, kukumpulkan semua keberanian yang ada. Aku tidak mau terus-menerus menahan semua ini, semakin kutahan akan semakin merapuhkanku.
“Permisi kak, Ardinya ada?”
“Katy, kamu kesini? Baru saja Ardi pergi katanya mau kerumah kamu.” Ku lihat ada raut bingung diwajah kak Marisa.
“Kerumah aku?” Tanyaku balik. “ Tapi, Ardi gak ada sms aku kak bahkan beberapa hari inikan dia gak masuk, bahkan nomer hpnya gak aktif.”
“Iya, jadi gini Ardi itu pergi ke Bandung, ada urusan keluarga, dan kakak sudah minta izin kok sama kepsek, terus malangnya lagi pas disana hand phonenya hilang, kontras saja dia lost contect sama kamu. Makanya tadi sampe rumah dia langsung aja ngeloyo ke rumah kamu kat.” Kak marisa menjelaskan secara detail, dan sekarang satu yang harus aku lakukan, AKU HARUS BALIK.
“Yaudah makasih ya kak, a aku balik dulu.” Kataku seraya berbalik dan mengambil langkah seribu.
“Iyaaaa hati-hati yaa.” Suaranya tampak samar-samar di telingaku, aku terus berlari, dan menghentikan sebuah taxi. Entah perasaan apa yang ada padaku, campur aduk. Ardi sekarang pasti sudah setengah perjalanan, gimana kalo nanti dia kerumah trus aku gak ada?, Duhhh aku harus cepet nih. Roda empat yang kutumpangi serasa penyu, aku terus gelisah, menggigit bibir bawah, meremas-remas bagian tengah kakiku yang terlipat, dan sesekali menghentakkan kaki. Mataku terus berkeliaran ke kakan, kiri, depan, dan belakang jalan, tapi tidak ada yang bisa menarikku. Dan sekarang aku mendengar sirene ambulans, dan dengan mudahnya menerobos kepadatan kendaraan, beberapa orang berbondong-bondong mendatangi suatu area yang nampak suram didepan sana, police line nampak sudah siap dan menjadi perisai.
“Lagi-lagi, ditempat yang sama, dan mendekati tahun baru.”
“Maksud bapak apaa ya?”
“Itu loh neng, jembatan didepan itu, pembatasnya sudah rusak, tapi belum juga diperbaiki, jadinya ya gitu sudah ada dua korban selama sepekan ini.” Jelas sopir taxi ini, entah kenapa aku jadi deg deg kan, perasaanku tidak tenang, cemas, dan khawatir, aku juga tidak tahu kenapa. “Dan sepertinya hari ini ada korban lagi, pasti kalau mau tahun baru, ada korban baru.” Aku hanya membisu, yah hari ini tepat 20 Desember 1981. Kasihan dia nampaknya keadaannya sangat parah, karena jurangnya sangat terjal. Polisi, masyarakat, dan tim forensik nampak bekerjasama dan mendiskusikan sesuatu yang tak kuketahui.
“Iya pak, namanya juga takdir gak bisa ditebak, kapan dan dimana.”
Pukul 11.00 WIB, aku berhasil menginjakkan kaki pada tempat peristirahatanku, seraya mendongakkan kepala ke sekitar rumah, tapi yang kucari belum juga tampak, dimana dia, apa dia belum sampai. Kutarik nafasku yang terasa berat, guratan kekecewaan kini mendominasi parasku, mungkin saja saat ini Ardi mengunjungi Lia terlebih dahulu, siapa aku baginya?, Aku merasakan ada getaran pada paha atasku, ada beberapa urutan nomer yang tak terdeteksi oleh handphoneku.
“Hallo, ini dengan siapa ya?” hening beberapa detik “Hallooooo ini siapa ya?” Kunaikkan nada suaraku, masih tak ada jawaban disana, kupikir mungkin hanya orang iseng, ingin kugapai tombol end pada hand phone, tapi... tiba-tiba aku mendengar suara isakkan disana. “Halo ini dengan siapa? Dan ada perlu apa ya? Tolong ya dijawab.”
“Kattt.” Aku sedikit mengenali suara ini walaupun terdengar berat, tapi aku yakin ini suara kak Marisa, tapi kenapa dia menelponku dan__ menangis?.
“Kak Marisa?, Ada apa kak?, Kakak gak papakan?” Tanyaku memburu.
“Kakak gak papa, kat_” Kutarik nafas sedalam mungkin, perasaan lega sedikit merasuki perasaanku, tapi kenapa kak Marisa masih menangis, hatiku berkecamuk. “Tapi Ardi__”
“Ardi kenapa kak?, Dia gak papakan?, Apa yang terjadi?” Aku mulai panik, suhu tubuh tak lagi stabil.
“Di__dia belum diketemukan.”
“Belum diketemukan?, Apa maksud kakak?” Terdengar sangat jelas tarikan nafasnya yang berat, pikiranku berpetualang. “Kak, ada apa?, Siapa yang belum ditemukan?”
“Kamu yang sabar yaaa,” hening beberapa detik, terdengar jelas tarikan nafasnya yang berat. “Ardi kecelakaan mobilnya masuk jurang, dan dia_” hening beberapa detik, kudengar Ia kembali menarik nafas, yang serasa sangat terbatas. “ Ma-mayatnya belum ditemukan.” Tangisanku pecah, aku terpaku,indera pengelihatanku buram. Detak jantungku tak lagi 70 atau 80 kali permenit. Atap bumi seakan runtuh, gravitasi tak lagi berlaku, tubuhku terpental melewati atmosfer bumi yang tak lagi bekerja, aku tak merasakan hangatnya tubuh, petir menyambar tepat pada jantungku. Now I feel like the waves are flooding the shore, berhasil menenggelamkanku, membawaku ke suatu tempat yang tak ada kata ‘Perpisahan’.
Hari-hariku tak lagi cemerlang, pikiran juga pandanganku kosong, telah genap sebulan pencarianmu, tapi tidak kunjung menghasilkan, hingga pencarian dihentikan. Aku terus bergumul dalam sunyi, menikmati kesepian yang tak berujung, masa depan yang tak terarah, terpenjara dalam keputusasaan. Mayat hiduplah sebutan yang tepat untukku.
000
Semoga kamu tenang disana, hanya itu yang dapat kukatakan, seraya menaburkan beberapa jenis bunga yang sudah kuracik. Angin kembali berhembus, serasa menyisir mahkotaku yang sewarna kapas. Inilah kegiatan setiap tahunku, menghormati tempat yang telah merenggutmu. Hanya saja penyesalan terus menggelayuti pikiranku. Kenapa aku tidak pernah menanyakan padamu tentang apa yang kau rasakan, dan maksudkan padaku?. Kita selalu bersama-sama, dimana ada kamu disitu ada aku. Kupandangi tatoo pada pergelangan tangan yang tampak jelas pada kulitku yang mengisut. Dan penyesalan itu kutebus dengan kesendirianku yang abadi, bergumul dalam sunyi, hingga mata dan tubuh ini telah lelah untuk bekerjasama. And I don’t have to say you were the one that got away. Karena aku merasa, kamu selalu ada disampingku dengan wujud yang tak kumengerti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H