SANG MANTAN
"Kupikir siapa pun lelaki yang sedang menjalin hubungan denganmu tidak akan marah melihat kita menghabiskan waktu sejenak, sepeti sekarang ini."Ucap seorang cowok yang sedang duduk di depanku sambil menikmati kopinya.
Tangannya meraih secangkir kopi panas di atas meja. Aku hanya menatap ruang hampa di depan mata. Aku tidak begitu peduli ucapannya. Tapi aku tetap harus menghargai waktunya, meskipun  bukan aku yang mengharapkan pertemuan ini.
"Jika boleh jujur, aku menyesali keputusanku waktu itu. Meninggalkan perempuan yang penuh dengan ketulusan. Sungguh aku menyesal." Katanya lagi, penuh sesal.
"Aku senang dengan keputusanmu, setidaknya aku jadi tau bahwa di luar sana ada yang benar-benar menginginkanku."
Aku menjawab dengan santai dan perasaan tenang. Dia tersenyum. Aku tau, senyum tanda penyesalan yang teramat dalam. Sebenarnya bukan dia yang memutuskan untuk pergi meninggalkan cinta yang waktu itu belum selesai. Kita sama-sama memutuskan untuk saling melupakan dan menjauh. Itu berat memang. Tapi tidak seberapa, jika kita saling ikhlas. Nyatanya aku selalu tersenyum mengingat kenangan itu. Sesuatu yang dulu kupikir sangat berat, Â tapi aku sanggup melaluinya. Saat aku menyadari semua hal memang membutuhkan waktu untuk tau bahwa semua akan baik-baik saja.
"Na...aku masih sangat cinta. Aku butuh waktu sangat lama untuk meyakinkan hati kalau ternyata hanya kamu yang mampu mengerti."
 Tangannya meraih secangkir kopi dan menyeruputnya. Pandangannya kembali menatapku yang masih acuh. Ah omong kosong! Dulu dia juga berkata hal yang sama dengan raut wajah yang sama. Tapi aku tidak akan lagi diluluhkannya. Aku tidak peduli itu ungkapan tulus atau palsu. Yang jelas aku tidak mau lagi kembali.
"Tapi kamu sudah berkekasih lagi. Aku yakin dia lelaki yang sangat baik. Jika tidak, mana mungkin kau mau menerimanya."
Dia kembali menerawang jauh, mungkin membayangkan andai dulu kita tidak berpisah. Mungkin detik ini kita memiliki kenyataan yang berbeda. Bukan seperti yang sekarang sedang terjadi.
"Tentu saja dia baik. Â Dia bahkan tidak pernah memaksaku untuk terus mencintainya. Jika aku bosan, aku bisa pergi kapan aja sesukaku." Aku membalas ucapannya.