Mohon tunggu...
Nur Haya
Nur Haya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bibliophile

Selanjutnya

Tutup

Analisis

"Sok Kritis"? Fenomena "Omong Kosong" dalam Diskusi Mahasiswa

26 Desember 2024   08:03 Diperbarui: 26 Desember 2024   08:21 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Mahasiswa (Sumber: https://tirto.id/menristekdikti-ancam-sp2-rektor-yang-terlibat-demo-mahasiswa-eiNi)

Organisasi mahasiswa sering kali menjadi wadah bagi generasi muda untuk melatih kemampuan berpikir kritis dan menyampaikan gagasan. Namun, tak jarang kita menemukan fenomena di mana diskusi yang seharusnya produktif berubah menjadi sekadar parade kata-kata tanpa substansi. Fenomena ini, yang bisa disebut sebagai "twaddle tendency" terjadi ketika seseorang mencoba menyamarkan kurangnya pemahaman dengan beragam istilah canggih dan kalimat bertele-tele. Alih-alih memberikan solusi nyata, mereka hanya memutar kata-kata yang membingungkan, mengaburkan inti masalah yang sebenarnya.

Fenomena serupa juga kerap kita temukan dalam berbagai bidang lain, termasuk dunia olahraga. Pernahkah Anda menyaksikan pertandingan sepak bola di mana komentator sibuk berbicara panjang lebar tentang hal-hal yang sebenarnya tidak relevan? Misalnya, membahas statistik atau gaya bermain yang tidak ada hubungannya dengan permainan yang sedang berlangsung. Padahal, yang dibutuhkan audiens hanyalah penjelasan sederhana tentang apa yang terjadi di lapangan. Begitu juga dalam organisasi mahasiswa, sering kali anggota merasa perlu berbicara panjang dan rumit agar terlihat cerdas, meskipun sebenarnya tidak menawarkan gagasan yang bermakna.

Saya pernah mengalami hal serupa ketika menghadiri seminar pendidikan di Sidoarjo. Seminar tersebut membahas ketimpangan akses pendidikan di berbagai daerah, sebuah isu yang sangat penting. Namun, sesi tanya jawab berubah menjadi tidak produktif ketika beberapa mahasiswa mulai mengajukan pertanyaan yang berputar-putar tanpa arah yang jelas. Salah satu peserta bertanya, "Dalam konteks disrupsi teknologi dan dinamika sosial, bagaimana kita sebagai mahasiswa dapat mengatasi ketimpangan akses pendidikan di era globalisasi dengan pendekatan yang adaptif terhadap SDGs dan pendidikan berkelanjutan?" Sekilas, pertanyaan ini terdengar canggih. Namun, jika disimak dengan saksama, isinya hanya mengulang poin-poin yang sama dalam kalimat yang rumit. Bahkan pembicara terlihat bingung, karena pertanyaan tersebut lebih berfokus pada gaya penyampaian daripada isi substansi.

Masalah ini sering muncul karena dorongan untuk terlihat pintar di hadapan audiens. Banyak mahasiswa merasa perlu menggunakan istilah rumit dan retorika yang berbelit untuk membangun citra intelektual. Padahal, seperti yang pernah dikatakan Jack Welch, mantan CEO General Electric, "Kesederhanaan adalah puncak dari perjalanan berpikir yang panjang, bukan titik awal." Ide yang matang justru ditandai dengan kemampuan menyampaikan gagasan secara sederhana dan langsung pada inti masalah.

Dalam konteks organisasi mahasiswa, retorika kosong ini sering kali muncul dalam bentuk argumen dan kritik yang tidak membawa solusi konkret. Contohnya, seseorang mungkin berkata, "Kita harus membongkar sistem pendidikan yang bersifat hierarkis karena sistem ini mendukung hegemoni struktural yang tidak adil bagi mahasiswa marginal." Ucapan ini terdengar kritis, tetapi tanpa penjelasan lebih lanjut atau usulan langkah nyata, pernyataan ini hanya menjadi wacana yang tidak memberikan dampak apa pun.

Masalah ketimpangan pendidikan di Sidoarjo, seperti yang dibahas dalam seminar, membutuhkan pendekatan yang lebih nyata. Ketimpangan akses ini sering kali disebabkan oleh minimnya infrastruktur pendidikan di daerah terpencil, kurangnya guru yang kompeten, hingga ketidakseimbangan dalam alokasi anggaran. Daripada sekadar menyampaikan kritik yang rumit  dan pertanyaan yang sekenanya dengan bahasa teknis, mahasiswa dapat memulai dengan mengusulkan atau meminta saran tentang program kemitraan antara kampus dan pemerintah daerah, atau menciptakan komunitas belajar untuk mendukung siswa di daerah terpencil. Kritik yang baik bukan hanya berbicara, tetapi juga menawarkan jalan keluar.

Sebagai mahasiswa, kita harus memahami bahwa kritik tanpa dasar atau argumen tanpa substansi yang hanya akan membuang waktu. Diskusi yang produktif membutuhkan kejelasan tujuan, argumen yang solid, dan solusi yang relevan. Jika kita hanya sibuk berbicara panjang lebar tanpa substansi, maka kita tidak berbeda dengan komentator yang sibuk mengoceh di lapangan, tetapi tidak memberikan nilai tambah bagi penonton. Kita perlu belajar untuk memilah apa yang penting dan apa yang tidak. Tidak semua ide perlu diutarakan, dan tidak semua argumen layak dimasukkan ke dalam diskusi. Jika sebuah argumen tidak relevan, tidak membantu menyelesaikan masalah, atau bahkan tidak bisa dipahami oleh peserta diskusi lainnya, maka mungkin lebih baik argumen itu tidak disampaikan. Berbicara hanya demi berbicara bukanlah tanda kecerdasan, melainkan tanda ketidakmampuan untuk berpikir secara kritis dan jernih.

Mark Twain pernah berkata, "Jika tidak ada yang ingin Anda katakan, lebih baik jangan katakan apa-apa." Kesederhanaan bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti pemikiran yang matang dan mendalam. Sebagai anggota organisasi mahasiswa, mari tinggalkan kebiasaan berbicara tanpa makna, dan mulai bangun diskusi yang berorientasi pada solusi. Dengan begitu, kita dapat memberikan kontribusi nyata, bukan hanya sekadar berbicara untuk terlihat cerdas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun